Laporan Wartawan Tribunnews.com. Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo akan memasuki usia pensiun pada April 2024 atau bulan depan.
Dengan demikian, tugas pembinaan TNI Angkatan Udara (AU) ke depan akan dilanjutkan oleh Perwira Tinggi TNI AU yang menggantikannya.
Lalu, apa yang menjadi pekerjaan rumah (PR) dalam pembinaan TNI AU ke depan dan siapa saja kandidat yang potensial menggantikan Fadjar?
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi memandang setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan kekuatan udara, yaitu aspek organisasi, teknologi dan kesiapan operasi.
Artinya, kata dia, organisasi harus dikembangkan agar sesuai ragam ancaman dengan mempertimbangkan kondisi geopolitik-geostrategis.
"Juga harus mampu menjawab tantangan dan mengantisipasi kendala," kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Senin (4/3/2024).
Terkait aspek teknologi, ia mengatakan dibutuhkan alutsista udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren yang memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multi peran baik itu pesawat tempur, pesawat angkut, artileri pertahanan udara bahkan sistem radar.
Dari sisi kesiapan operasi, kata dia, meliputi upaya memelihara kesiapsiagaan tempur dan meningkatkan kecakapan SDM dalam pengembangan strategi operasi, serta penggunaan dan pemeliharaan alutsista.
"Memastikan alutsista dalam keadaan terawat, terpelihara dan siap tempur, juga memastikan ketersediaan dukungan logistik," kata dia.
Selain itu, menurutnya Perang Rusia-Ukraina menunjukkan bagaimana pentingnya dominasi kekuatan udara (air power), baik melibatkan pesawat berawak, tak berawak, dan berbagai varian alutsista udara dengan persenjataannya.
Begitu juga bagi Indonesia, kata dia, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga kedaulatan NKRI di udara.
Dengan keberadaan pesawat tempur andal, menurutnya TNI AU akan disegani di kawasan.
Dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, kata Fahmi, belanja alpalhankam-alutsista harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan upaya meningkatkan kemampuan TNI AU.
Oleh karena itu, menurutnya harus selalu dipastikan bahwa usulan-usulan belanja TNI AU benar-benar berbasis kebutuhan bukan sekadar keinginan.
Belanja itu, kata Fahmi, juga harus merupakan bagian dari upaya membangun supremasi dan superioritas udara sebagai variabel penting untuk meningkatkan kewibawaan, bargaining position, dan mengamankan arah kepentingan nasional Indonesia agar tetap terjaga.
"Jadi walaupun kapasitas kekuatan udara saat ini masih kalah dari Australia dan Singapura, setidaknya upaya Indonesia untuk menjadi stabilisator kawasan sudah akan berjalan di jalur yang tepat," kata Fahmi.
"Saya kira harus diakui bahwa kekuatan udara kita masih belum cukup memadai untuk menjaga ruang udara sepenuhnya. Apalagi untuk benar-benar menjadi kekuatan yang disegani dunia. Masih jauh," lanjut dia.
Dilihat dari capaian MEF saja, kata dia, TNI AU masih paling bawah.
TNI AU, menurut catatannya baru separuh capaian atau baru mendekati 50 persen MEF.
"Itu artinya, kata dia, masih tertinggal dengan matra lain sehingga tentu saja perlu menjadi perhatian supaya peremajaan maupun pengembangan kekuatan ini tetap proporsional," kata Fahmi.
Menurutnya harus dipertimbangkan juga laporan Panglima TNI pada Komisi I DPR soal meningkatnya pelanggaran ruang udara oleh pesawat asing beberapa tahun terakhir.
Menurutnya hal itu sudah cukup untuk menunjukkan tantangan dan ancaman itu.
"Apalagi pertahanan udara Indonesia memang sedang dihadapkan pada kesenjangan antara kekuatan faktual dengan kebutuhan hadirnya kekuatan udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multiperan," kata dia.
Ke depan, kata Fahmi, TNI AU juga harus terus memperkuat kemampuan interoperabilitas baik antar kesatuan di lingkungan TNI AU sendiri, maupun antarmatra.
Interoperabilitas, kata dia, adalah kemampuan bertindak bersama secara koheren, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan taktis, operasional dan strategis.
Secara khusus, menurutnya interoperabilitas memungkinkan kekuatan, unit dan/atau sistem untuk beroperasi bersama, berkomunikasi dan berbagi kesamaan doktrin dan prosedur, serta infrastruktur dan basis masing-masing.
Interoperabilitas, kata dia, akan mengurangi duplikasi, memungkinkan pengumpulan sumber daya, dan menghasilkan sinergi.
Sebagian besar pesawat tempur yang dimiliki Indonesia, kata dia, merupakan pesawat multi-role yang berorientasi ke serangan darat, yakni F-16 dan TA-50.
Pesawat fighter, lanjut dia. masih terbatas pada Sukhoi yang operasionalnya sedikit banyak terdampak oleh krisis Rusia-Ukraina.
Dengan demikian, kata dia, TNI AU harus memproyeksikan kebutuhan alpalhankam-alutsista dan kompetensi prajurit yang mampu menghadirkan efek gentar di udara sekaligus memberikan dukungan serangan darat maupun operasi-operasi maritim.
"Artinya, interoperabilitas TNI diharapkan juga akan meningkat dengan dukungan kehadiran peralatan persenjataan dan personel yang andal," kata Fahmi.
Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan tersebut menurutnya tentu dibutuhkan sosok pimpinan dalam hal ini Kepala Staf TNI AU yang benar-benar layak dan kompeten.
Tentunya, kata dia, bukan berarti yang lain tidak layak dan tidak kompeten.
Namun, kata dia, harus dicari sosok yang paling unggul dari para perwira tinggi unggulan itu baik dari rekam jejak prestasi, pengalaman tugas dan jabatan maupun panjangnya masa aktif sebagai prajurit.
Mengingat jabatan KSAU adalah jabatan bintang empat, kata dia, maka prioritas pertama adalah melihat siapa saja bintang tiga yang potensial.
"Menurut saya, ada tiga kandidat yang paling potensial menduduki jabatan itu dengan mempertimbangkan kekayaan pengalaman tugas, jabatan dan masa aktif," kata dia.
"Mereka adalah Dansesko TNI Marsdya Samsul Rizal; Pangkoopsudnas Marsdya Tedi Rizalihadi; dan Pangkogabwilhan II Marsdya Toni Harjono," sambung dia.