Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute mempersoalkan aturan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu muatan dalam rancangan peraturan tersebut adalah mengenai jabatan-jabatan ASN yang dapat diisi prajurit TNI dan Polri.
Ikhsan Yosarie selaku Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute mengatakan reformasi TNI/Polri tidak menjadi ruh dalam RPP ini dan sangat potensial mengulang praktik Dwifungsi ABRI.
"Terlebih mengikuti kecenderungan yang selama ini terjadi pada periode Presiden Jokowi yang tidak memiliki paradigma supremasi sipil dalam demokrasi dan abai terhadap reformasi TNI/Polri, peraturan ini jelas akan mengakselerasi perluasan posisi TNI/Polri pada jabatan sipil, terutama jabatan-jabatan tertentu yang selama ini menjadi ranah AS," kata Ikhsan dalam siaran pers yang diterima, Jumat (15/3/2024).
Ikhsan mengatakan RPP ini juga memiliki kompleksitas persoalan yang perlu diatasi melalui pengaturan yang terperinci dengan kriteria yang tepat.
Sebab melalui prinsip resiprokal, RPP ini dapat berdampak kepada jenjang karir kepada ASN maupun TNI/Polri.
Baca juga: Mendagri Tito Klaim Uang THR ASN Daerah Kerap Dipakai Rekanan Proyek
Menurutnya, penyusunan RPP ASN semestinya mengokohkan komitmen reformasi TNI/Polri, sehingga tetap meletakkan dua alat negara ini sebagai instrumen negara yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan dan bidang keamanan negara, dan tidak didorong untuk mengokupasi jabatan-jabatan pemerintahan yang secara substantif dan selama ini menjadi tugas dan fungsi ASN.
"Peraturan ini sebenarnya dapat menguatkan pembatasan jabatan sipil bagi TNI/Polri sesuai UU TNI dan UU Polri. Berbagai Jabatan ASN yang dapat diduduki prajurit TNI dalam PP ASN semestinya tetap mengacu kepada ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang telah merinci jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa melalui mekanisme pensiun dini, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN," kata dia.
"Begitupun merujuk pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), sebagaimana penjelasannya bahwa jabatan-jabatan tersebut perlu dipastikan memiliki sangkut paut dengan kepolisian dan ada penugasan resmi dari Kapolri," katanya.
Baca juga: Amnesty Internasional Nilai Revisi UU ASN Buka Celah Dwi Fungsi ABRI
Sementara, dilanjutkan Ikhsan, terhadap jabatan-jabatan ASN di luar ketentuan UU TNI dan UU Polri itu, PP ASN ini perlu menegaskan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, sebagaimana Pasal 47 ayat (1) UU TNI.
"Serta merujuk kepada Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang menegaskan bahwa Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," katanya.
Ikhsan mengatakan UU ASN mengatur bahwa jabatan ASN terdiri dari Jabatan Manajerial dan Non-Manajerial.
Pengaturan PP ini, dikatakan Ikhsan, semestinya memberikan gambaran yang jelas perihal kriteria dan/atau jabatan-jabatan apa saja yang dapat diduduki prajurit TNI/Polri untuk jabatan ASN.
Kriteria dan syarat yang ketat perlu dilakukan agar RPP ini tidak menjadi pintu masuk yang seluas-luasnya bagi penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil yang dapat memicu massifnya kembali praktik Dwifungsi ABRI dan merusak tatanan demokratis negara ini," kata dia.
Lebih lanjut, mengingat dalam UU ASN memiliki konsep resiprokal, dimana ASN juga dapat mengisi jabatan-jabatan tertentu di lingkungan TNI/Polri, Ikhsan menilai perlu diperhatikan agar pengaturan dalam rancangan PP ini tidak menambah persoalan mengenai karir-karir ASN dan prajurit TNI/Polri ke depannya.
"Penempatan sesuai kebutuhan Kementerian/Lembaga harus menjadi prinsip yang diutamakan, sehingga penempatan dapat tepat sasaran. RPO Manajemen ASN harus dipastikan menjadi instrumen untuk mewujudkan birokrasi berdampak, seperti jargon Kemenpan/RB, bukan untuk menjadi sarana perluasan penempatan TNI/Polri pada jabatan-jabatan ASN," pungkasnya.