TRIBUNNEWS.COM – Pengajar Komunikasi Pemasaran di London School of Public Relations, Safaruddin Husada, mengomentari gerakan boikot massal atas produk-produk multinasional yang dianggap terafiliasi dengan Israel. Menurutnya, gerakan ini dapat menjadi momentum brand lokal yang kini punya keleluasaan mengkomunikasikan keunggulan produknya sekaligus posisi brand sebagai produk nasional yang berkomitmen pada nilai-nilai kemanusian yang universal.
"Sebenarnya, ini momen yang pas bagi merek lokal untuk menunjukkan ke publik kalau mereka berdiri di sisi yang benar, tidak memiliki keterkaitan apapun yang sifatnya bisa melanggengkan penjajahan Israel atas Palestina," kata Safaruddin ke awak media, Jumat (15/3/2024).
Dalam rilis yang diterima Tribunnews, Safaruddin berpendapat kesadaran brand konsumen di Indonesia saat ini berkelindan dengan simpati konsumen atas derita Bangsa Palestina. "Kuncinya brand yang berhasil mengkomunikasikan reputasinya sebagai perusahaan yang bersih dari tindakan tak berperikemanusiaan, seperti yang dengan kasat mata dipraktikkan Israel di Gaza hari-hari ini, yang bakal mendapat tempat khusus di hati konsumen," katanya.
Pandangan senada datang dari pakar komunikasi, Algooth Putranto. Menurutnya, masalah terbesar sejumlah brand perusahaan multinasional yang tengah didera gelombang boikot adalah ketiadaan keterbukaan terkait nature hubungan induk mereka di luar negeri dengan rezim Zionis Israel.
"Berbagai pernyataan dan bahkan penyangkalan dari sejumlah brand asing sejauh ini nampaknya tak berbekas, karena konsumen juga sudah pintar, bisa mencari sendiri informasi yang tersedia secara ekstensif di Internet," katanya. "Tak ada jalan lain, mereka harus berani berterus terang terkait relasi induk mereka dengan Israel. Kejujuran seperti itu yang ingin didengar konsumen."
Karena itu, menurut Algooth, brand lokal sejatinya bisa meraup keuntungan dari perubahan preferensi masyarakat atas produk besutan perusahaan multinasional asing.
Sebagaimana diketahui, gelombang boikot produk Pro Israel menyasar banyak brand asing di berbagai sektor industri, termasuk atas sejumlah produk makanan dan minuman kemasan. Gelombang boikot ini diperkirakan berlanjut seiring munculnya instruksi (irsyadat) Majelis Ulama Indonesia agar konsumen Muslim berpantang dari apapun yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan lokal maupun internasional yang terafiliasi dengan Israel.
"MUI mendorong masyarakat menggunakan produk dalam negeri yang tidak terafiliasi dengan Israel dan pendukungnya," kata MUI dalam sebuah pernyataan tertulis, Minggu (10/3/2024).
Menurut MUI, instruksi boikot massal tersebut merupakan penyikapan lembaga atas genosida di Gaza dan sekaligus untuk memperkuat fatwa MUI terkait penjajahan Israel atas Palestina.
Pada November 2023, MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang "Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina". Dalam fatwa tersebut, MUI merekomenda(sikan umat Islam "semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme".
Sejauh ini, MUI tak mengeluarkan daftar produk pro Israel yang perlu diboikot. Namun lembaga mempersilahkan masyarakat, termasuk kalangan peneliti dan akademisi, untuk menggali informasi secara independen untuk mengetahui mana dari produk yang beredar di tengah masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan Israel.
Brand Lokal Naik Daun
Sebelumnya, dilaporkan segmen air kemasan lokal berhasil membukukan peningkatan penjualan yang signifikan di tengah gelombang boikot atas sejumlah brand asing besutan perusahaan multinasional.
Berkaca pada laporan sejumlah media, kenaikan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) lokal antara lain terjadi pada merek lokal Crystalline, Cleo, Pristine dan Le Minerale.