Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang aktris, Tsania Marwa, memberikan kesaksian dalam sidang uji materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia hadir sebagai saksi dalam persidangan yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta, pada Senin (18/3/2024).
Uji materiil aturan yang berkaitan dengan kasus penculikan anak tersebut dimohonkan oleh Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.
Dalam kesaksiannya, Tsania mengatakan, ia memiliki dua orang anak, yakni SMF (10) dan AS (9).
Ia telah bercerai dengan suaminya, Atalarik Syah dan memegang hak asuh anak, berdasarkan:
1. Pengadilan Agama Cibinong Nomor Putusan 1042/PDTG/2019
2. Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat Nomor Putusan 292/PDTG/2019
3. Kasasi dengan nomor putusan 361/K.Ag/2020
4. Peninjauan Kembali 95/PK.Ag/2021
Meski hak asuh anak telah ditetapkan secara hukum jatuh kepadanya, Tsania mengatakan, ia telah dipisahkan selama 7 tahun dengan kedua anaknya oleh sang mantan suami.
"Sebagaimana putusan tersebut di atas yang menyatakan, bahwa saya adalah pemegang hak asuh dari kedua anak saya. Namun, pada kenyataannya hingga saat ini saya dan kedua anak saya terpisahkan dikarenakan tertutupnya akses untuk mengasuh dari pihak mantan suami saya," kata Tsania, dikutip dari siaran YouTube MKRI, Selasa (19/3/2024).
"Terpisahkan selama 7 tahun. Sebagai seorang ibu saya merasa sangat dirugikan. Saya merasakan kesedihan yang luar biasa, saya merasa tidak mendapat keadilan dari putusan hak asuh berkekuatan hukum tetap," tambahnya.
Lebih pilunya lagi, Tsania mengatakan, sebagai seorang ibu yang mencintai kedua anaknya, ia tidak mengetahui perkembangan mereka.
Terkait kerugian yang dialaminya tersebut, Tsania mengaku sempat melakukan konsultasi dengan Bareskrim Polri Unit PPA terkait Pasal 330 KUHP tentang penculikan anak.
"Penyidik menjelaskan kepada saya, jika yang membawa kabur salah satu orang tua, baik pemegang hak asuh ataupun non pemegang hak asuh, tidak dapat diterapkan pasal 330 KUHP dikarenakan masih memegang status sebagai orang tua," ucapnya.
Lebih lanjut, Tsania sangat berharap adanya kontribusi dari Mahkamah Konsitusi terhadap kepastian hukum aturan tersebut.
"Bahkan, keadilan mutlak terhadap orang tua pemegang hak asuh anak berkekuatan hukum tetap yang dipisahkan oleh anak kandungnya," tegas Tsania.
Dikutip dari situs resmi MKRI, Para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai memiliki hak asuh anak namun saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.
Adapun Aelyn Halim selaku Pemohon I mengaku tidak mengetahui keberadaan anaknya karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya yang dibawa tanpa sepengetahuan sejak tiga tahun lalu. Ia sudah melaporkan ke pada pihak kepolisian namun tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Kemudian, Shelvia selaku Pemohon II, mantan suaminya melakukan pemalsuan identitas anak dalam pembuatan paspor tanpa seizinnya untuk pergi ke luar negeri.
Begitu juga dialami Nur sebagai Pemohon III, anak keduanya diculik oleh mantan suami pada akhir Desember lalu yang hingga saat ini terlapor belum dijadikan tersangka dan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan anak keduanya.
Selanjutnya Pemohon IV, Angelia Susanto yang memiliki mantan suami warga negara asing masih belum menemukan keberadaan anaknya hingga saat ini. Mantan suaminya menculik anak mereka pada Januari 2020.
Terakhir, Roshan Kaish Sadaranggani ketika anaknya diambil oleh mantan suami telah berupaya melapor ke KPAI dan mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Akan tetapi, hingga saat ini masih tidak mendapat akses untuk menemui anak-anak.
Sehingga menurut Pemohon dengan tidak adanya tafsir yang jelas dan tegas mengenai ketentuan frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” apakah dapat diterapkan terhadap ayah atau ibu kandung sebagai subjek hukum sebagaimana tersebut di atas, dalam praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan hukum yang mengakibatkan adanya perlakukan yang berbeda-beda.