News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ekonom INDEF Nilai Usulan Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET Bisa Rugikan Negara  

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), lantaran ada ketidakjelasan dan berisiko merugikan negara.

Sebagai informasi, skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan transmisi.

Lewat skema ini, pihak swasta diizinkan untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

“Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” kata Abra kepada wartawan, Selasa (9/5/2024).

Baca juga: INDEF: Target Pertumbuhan Ekonomi 6-8 Persen Pemerintahan Prabowo Tak Realistis

Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development INDEF ini mengatakan bahwa sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling. 

Menurutnya, skema power wheeling dapat berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara. 

Selain itu skema power wheeling merupakan mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung.

"Dan ini berisiko teknis dalam implementasinya. Karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara," jelas dia.

Usulan memasukkan skema power wheeling sebagai insentif dinilai juga tidak beralasan lantaran sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.

Dalam RUPTL, sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan. Di mana ada tambahan EBET 20,9 gigawatt, dan 56,3 persennya menjadi porsi swasta.

Dengan sudah adanya porsi swasta pada roadmap tersebut, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.

“Pada sisi suplai, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil," kata dia. 

Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. 

"Bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," pungkas Abra.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini