TRIBUNNEWS.COM - Dalam rangka memperingati Hari Konsumen Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 April, Pakta Konsumen Nasional (Paknas) terus berjuang untuk melindungi hak-hak dan meningkatkan partisipasi konsumen dalam industri tembakau.
Ary Fatanen, Ketua Umum Paknas, menegaskan bahwa hingga saat ini, konsumen masih dianggap sebagai objek dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan di sektor tembakau.
Aspirasi dan pemenuhan hak-hak konsumen masih belum mendapat perhatian yang memadai, seperti halnya dalam pemenuhan hak konsumen tembakau terkait tempat khusus merokok di tempat umum.
"Dalam momentum Hari Konsumen ini, kami mengingatkan kembali pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia." ujarnya dalam Diskusi Publik bertajuk "Reposisi Perlindungan dan Hak Partisipasi Kebijakan bagi Konsumen Tembakau" Sabtu (20/4/2024) di Kota Solo.
"Konsumen adalah subjek yang berperan aktif menggerakkan kegiatan ekonomi, terbukti bahwa konsumen ekosistem pertembakauan berkontribusi terhadap penerimaan negara berupa cukai rokok sebesar Rp 213 triliun atau porsinya 7,7 persen APBN. Tapi dalam praktiknya, konsumen masih hanya dipandang diperlakukan sebagai objek," lanjut Ary.
Selain itu, Paknas juga berusaha untuk mengembalikan peran konsumen sebagai agen perubahan yang kritis dan cerdas, terutama dalam hal regulasi baik di tingkat regional maupun pusat yang mengatur dan berdampak langsung pada bagian hilir dari ekosistem industri tembakau.
Salah satunya adalah terkait penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 (RPP Kesehatan).
Keterbatasan saluran aspirasi bagi konsumen tembakau mendorong Pakta Konsumen Nasional untuk memulai Survei Konsumen yang ditujukan kepada masyarakat Yogyakarta-Solo sebagai representasi daerah dengan perekonomian yang didukung oleh industri hasil tembakau (IHT).
Dari hasil survei yang melibatkan responden berusia 18-47 tahun, Ary menjelaskan bahwa 94% responden tidak mengetahui dan tidak pernah mendengar tentang RPP Kesehatan tersebut.
Selanjutnya, sebanyak 70,9% responden menyatakan bahwa hak-hak mereka sebagai konsumen tembakau belum sepenuhnya dipenuhi dan dilindungi oleh pemerintah.
Demikian pula, 76,9% responden menyatakan bahwa sebagai konsumen tembakau, suara mereka belum pernah dipertimbangkan dalam peraturan yang berkaitan dengan kebijakan industri tembakau.
"Dapat kita lihat bahwa nyata selama ini konsumen ataupun komunitas pertembakauan tidak pernah diinfokan ataupun dilibatkan dalam penyusunan peraturan, termasuk regulasi di daerah seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dan, untuk diketahui, hingga saat ini, ada 300 regulasi pertembakauan, semuanya menunjukkan minimnya pembatasan akses konsumen atas hak partisipasi dalam pembuatan kebijakan," tegas Ary.
Pengamat Hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, DR Ayub Torry Satriyo Kusumo menyebutkan dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) sebagai dasar hukum perlindungan konsumen juga telah secsra eksplisit menegaskan bahwa harus terwujud asas keadilan dan kepastian hukum dalam penerapannya.
“Artinya, partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen, termasuk konsumen pertembakauan, untuk berperan aktif dalam penyusunan kebijakan di Indonesia, memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Begitu pula dengan asas kepastian hukum yang bertujuan memberikan jaminan dan perlindungan konsumen agar memperoleh keadilan serta perlindungan dari negara," ujar Ayub.
Ia pun mengingatkan bahwa sesuai amanah UU Perlindungan Konsumen, pemerintah harus dapat mewujudkan kehadirannya secara nyata dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. "Ketika konsumen merasakan ada praktik diskriminasi dam penyusunan ataupun implementasi regulasi pertembakauan, memang sudah seharusnya konsumen menuntut haknya untuk didengarkan pendapat maupun keluhannya hingga hak untuk berpartisipasi dapat terwujud," tambah Ayub.
Diskriminasi Konsumen
Edo Johan Pratama, Sekretaris KNPI Kota Surakarta, mengapresiasi komitmen Pakta Konsumen yang terus memperjuangkan hak perlindungan dan hak partisipatif dalam penyusunan peraturan.
Di tingkat daerah, penyusunan regulasi, baik oleh legislatif maupun ekseskutif, nyaris tidak pernah membuka ruang bagi komunitas konsumen tembakau.
Stigma atau persepsi negatif seakan begitu melekat pada konsumen pertembakauan.
Padahal, perkumpulan konsumen seperti KNPI siap untuk berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan peraturan agar terwujud peraturan yang adil dan berimbang bagi konsumen rokok dan tembakau.
"Sejak sebelum peraturan itu lahir, konsumen pertembakauan sudah mendapatkan diskriminasi. Nah, maka wajar ketika regulasi itu diimplementasikan, yang muncul justru potensi-potensi pelanggaran konsumen." ungkap Edo.
"Dengan kata lain, peraturan tidak bisa diimplementasikan di lapangan dengan baik akibat kondisi, pemahaman yang minim dan fasilitas infrastruktur yang tidak memadai." lanjutnya.
"Kami sangat menyayangkan bahwa pemerintah baik level daerah maupun pusat belum hadir dan merangkul konsumen sebagai pihak yang berkontribusi nyata terhadap penerimaan negara. Konsumen siap untuk bergandengan tangan dengan pemerintah untuk menyusun berbagai peraturan di berbagai level demi terlindunginya hak-hak konsumen," tutupnya. (*)