TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Anggota DPR RI, Putu Supadma Rudana menilai WWF ke-10 sangat urgen bagi dunia mengingat isu air menjadi salah satu isu pembangunan berkelanjutan yang krusial untuk dicapai.
Anggota biro Komite Inter-Parliamentary Union (IPU) untuk pembangunan berkelanjutan itu mengungkapkan WWF ke-10 ini merupakan ajang yang signifikan untuk mengevaluasi perjalanan dialektika komunitas global tentang isu air.
Putu mengaku sudah bertemu dengan Presiden Dewan Air Dunia, Loic Fauchon di Jakarta. Keduanya menyadari air sendiri berpengaruh dan terpengaruh oleh perubahan iklim.
"WWF ke-10 menjadi pengingat kita, penanda bahwa isu air bukan isu yang ecek-ecek. Isu air sangat krusial bagi keberlangsungan hidup manusia, wilayah, politik, bahkan pembangunan berkelanjutan. Oleh karenanya, kita perlu menganggap serius isu air tersebut,” kata Putu dalam keterangan tertulis, Minggu (19/5/2024).
World Water Forum (WWF) ke-10 yang diselenggarakan pada 18-25 Mei 2024 di Pulau Bali diharapkan akan menjadi ajang yang produktif untuk membahas isu-isu keberlanjutan air di seluruh dunia.
Forum air terbesar dunia tersebut akan dihadiri sebanyak 13.448 orang dari 148 negara yang terdiri dari 8 kepala negara dan wakil kepala pemerintahan, 3 utusan khusus, dan 38 menteri.
Menurutnya, DPR RI akan menjadi host penyelenggaraan parliamentary side event ‘The 10th World Water Forum’ di Nusa Dua, Bali.
"Untuk pertama kalinya dari 10 kali penyelenggaraannya, World Water Forum mengadakan pertemuan tingkat parlemen yang secara resmi menggandeng DPR RI sebagai host dan Inter-parliamentery union (IPU). Forum ini diharapkan tidak hanya sebatas dialog antarparlemen dunia, tetapi menghasilkan gerakan yang konkret terkait hak atas air," ungkap Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini.
Putu mengatakan WWF ke-10 akan membuka potensi dan peluang dalam investasi di sektor air mengingat menjadi wadah pertemuan multipihak termasuk sektor bisnis, pemerintahan hingga para pemikir.
Selain itu, WWF ke-10 juga meningkatkan perputaran ekonomi hingga masyarakat kecil di Bali. Sebab, kepala negara hingga anggota parlemen akan hadir dalam kegiatan WWF ke-10 di Bali
“Mereka bertemu tidak hanya hadir dalam forum, tetapi berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik dalam isu konservasi, perlindungan, pemeliharaan air, sarananya, dan limbah buangannya,” jelasnya
Putu sebagai putra daerah Bali ini menyadari bahwa berbagai masyarakat dunia tentu memiliki kearifan-kearifan ini, dan menarik bagi parlemen untuk kemudian mengetahuinya lebih luas dan berbagi praktik-praktik tersebut.
“Di Bali, kearifan lokalnya adalah konsep Tri Hita Karana, konsep Hari Nyepi, dan sistem irigasi SUBAK dengan menjaga kesinambungan baik danau, sungai maupun springs atau mata air, " imbuhnya.
"Di Bali dan di Indonesia, tanah air kita juga memiliki penghormatan yang tinggi terhadap air atau disebut Tirta. Indonesia juga memiliki penghormatan yang sama tinggi antara daratan dan sumber air, yaitu dengan menyebut negeri kita sebagai Tanah Air” katanya lagi.
Putu menambahkan, pemaknaan Tanah Air itu justru memperkuat kenapa kita menjadi tuan rumah yang penuh makna. Karena dua pertiga dari wilayah kita adalah lautan, sepertiga adalah daratan
Anggota Komisi VI DPR ini memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada para pendiri bangsa, tokoh-tokoh bangsa pendahulu. Karena, kata dia, merekalah yang sejak awal memberi penekanan makna sebuah negara bahwa Indonesia disebut Tanah Air.
“Kita beri respect kepada para pendiri bangsa, sudah dari awal memberi penekanan makna sebuah negara, country itu adalah Tanah Airku Indonesia. Tanah dan air. Mungkin, tidak banyak negara di dunia yang menyebut negaranya itu tanah air. Artinya, penghormatan kita terhadap tanah dan air itu sebenarnya seimbang,” tuturnya.
Putu menyebut isu air tidak bisa dianggap remeh, terlebih kaitannya dengan tantangan global yang saat ini dalam hal perubahan iklim. Data dari World Resources Institute (WRI) Aqueduct Water Risk Atlas, menemukan sedikitnya 25 negara-seperempat dari populasi dunia-terekspos pada tingkat water stress yang sangat tinggi secara menahun.
“Sekitar 4 miliar penduduk, terancam kelangkaan air sedikitnya sebulan sekali per tahun. Pada 2050, angka tersebut dapat meningkat ke 60 persen dari penduduk global. Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, Bali, NTB, hingga Tanimbu (Maluku), pada 2030, diperkirakan mengalami kelangkaan air dari tinggi hingga sangat tinggi. Tantangan terkait water stress ini berlipat, tidak hanya dari perubahan iklim, tetapi juga akibat konflik dan peperangan. Bisa dibilang air ini untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia,” ungkapnya.
Data SDGs 2023 dari PBB, lanjut dia, juga masih mencatat miliaran penduduk masih mengalami kekurangan akses ke air minum layak (aman), sanitasi dan higienitas. Sementara di Indonesia, cakupan layanan air minum telah berada di 91,05 persen dengan target pemerintah 100 persen pada 2024 ini.
Baca juga: Putu Supadma Ungkap Kaukus Air DPR Bukti Keseriusan Parlemen Tangani Persoalan Air
“Tetapi akses air minum perpipaan, menurut data Perpamsi baru 19,74 persen (2023). Sisanya adalah akses air minum dari sumber lain seperti galon, air permukaan hingga air tanah. Tentu tanpa pengelolaan atau penyaringan memadai, potensi pencemaran bakteri e-coli sangat tinggi,” jelas dia.
Oleh karenanya, Putu mengatakan ada empat hal yang akan didorong oleh Parlemen Indonesia melalui BKSAP DPR RI yaitu mendorong pembahasan isu air dan sanitasi dalam bingkai pencapaian SDGs khususnya SDG 6 tentang air dan sanitasi.
Menurutnya, hal ini penting karena situasinya adalah hal yang sangat mendasar bagi kebutuhan manusia dan juga dalam upaya mewujudkan target-target pembangunan berkelanjutan.
Kedua, lanjut Putu, BKSAP berkeinginan agar kearifan lokal, kekuatan sejarah adat dalam menghormati air, membuka ruang secara inklusif dan merata bagi komunitas lokal untuk memanfaatkannya menjadi kekayaan tak benda yang dapat diakui pengambil kebijakan. Bahkan, pengambil kebijakan dapat belajar dari kekuatan dan kearifan lokal ini.
Ketiga, Putu mengatakan seiring dengan fenomena perubahan iklim yang semakin tak terbendung, BKSAP ingin melihat dan membahas bersama-sama dengan komunitas parlemen global, mengenai konektivitas kedua isu, dan bagaimana keduanya sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.
“Oleh karenanya, perlu langkah-langkah yang urgen untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul akibat situasi air dan perubahan iklim,” ucap Putu Rudana.
Selanjutnya, Putu menambahkan agenda yang tak kalah penting yakni keinginan BKSAP untuk mendorong potensi kolaborasi, kerja sama saintifik, peluang-peluang diplomasi air (hydrodiplomacy) untuk koeksistensi antarbangsa. Perspektif diplomasi BKSAP melihat air sebagai komoditas yang mampu menjembatani manusia lintaswilayah, mengingat sifat air yang mengalir, dan alirannya juga tak kenal batas wilayah.
“Berbagai contoh kerja sama pengelolaan air lintasbatas menjadi satu isu yang menarik bila kita kaitkan dengan hydrodiplomacy ini,” jelas Putu.
Disamping itu, Putu mengatakan suara kaum muda akan menjadi titik awal dalam pertemuan untuk memberikan perhatian kepada para legislator global mengenai kaum muda, yang merupakan penerima manfaat bumi saat ini dan di masa depan, mengenai air dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi mereka di masa depan dan jenis intervensi apa yang akan dilakukan.
"Suara pemuda sangat penting bagi negara kita. Oleh karena itu, acara pra-pertemuan Parlemen telah diselenggarakan pada bulan April dengan melibatkan ratusan pemuda melalui pertemuan Balai Kota Pemuda tentang air. Balai kota ini membuahkan hasil karena memberikan harapan generasi muda terhadap masa depan air,” katanya.