TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah diduga dikuntit anggota polisi dari satuan Detasemen Khusus Antiteror atau Densus 88 saat makan malam di salah satu restoran di Cipete, Jakarta Selatan.
Pengamat Keamanan dari Centre for Strategic and International Studies, Nicky Fahrizal, Jumat (24/5/2024) seperti dikutip dari Kompas.id, mengatakan jika benar ada anggota Densus 88 menguntit Jampidsus dan tertangkap maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Sebab dalam tataran operasional, tugas Densus 88 berada di bawah rezim UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme bukan menguntit aparat hukum, seperti pejabat Kejaksaan Agung.
Baca juga: Profil Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah, Diduga Dikuntit Anggota Densus 88
Cikal Bakal Terbentuknya Densus 88 AT
Sejarah terbentuknya Densus 88 AT bermula dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Diberitakan Kompas.com, instruksi tersebut dipicu oleh maraknya aksi teror bom sejak 2001.
Kemudian pemberantasan terorisme diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan pun membentuk organisasi-organisasi antiteror.
Dalam perjalanannya institusi-institusi anti teror tersebut melebur menjadi Satuan Tugas (Satgas) Antiteror di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Namun, Satgas ini tidak berjalan efektif.
Menyikapi meningkatnya eskalasi aksi teror, Polri membentuk Satgas Bom Polri di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Satgas ini terlibat dalam beberapa kasus peledakan bom yang melibatkan korban warga negara asing, seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia.
Akan tetapi, tugas dan fungsi Satgas Bom Polri ternyata tumpang tindih dengan organisasi sejenis di bawah Bareskrim, yakni Direktorat VI Anti Teror.
Mabes Polri akhirnya mereorganisasi Direktorat VI Anti Teror yang ditandai dengan langkah Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar menerbitkan Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003.
Sejak saat itu, Densus 88 Antiteror pun resmi berdiri.