Oleh: Petrus Selestinus
Advokat & Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara
TRIBUNNEWS.COM - Manajemen organisasi dan tata kerja Kepolisian RI di era Kapolri Jendedaral Polisi Listyo Sigit Prabowo, sering muncul masalah besar, terkait dengan perilaku oknum Polisi yang berada pada unsur utama Struktur Mabes Polri terutama pada Satuan Pelaksana yang bekerja di luar Struktur Organisasi Polri yang ada.
Sebagai contoh, "Satgasus Merah Putih" bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada tahun 2019, merupakan organ nonstruktural dengan misi khusus melakukan penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana yang menjadi "atensi pimpinan Polri" untuk kasus-kasus tertentu, kemudian Satgasus ini dibubarkan ketika Ferdy Sambo terkena kasus.
Hal berbeda terjadi pada peristiwa penguntitan terhadap Jampidsus pada beberapa waktu lalu, yaitu pelakunya bukan berasal dari organ nonstruktural sebagaimana Satgasus Merah Putih, melainkan organ struktural pada unsur utama struktur Mabes Polri, yaitu Densus 88 Antiteror, wilayah Jawa Tengah, itupun konon dilakukan di luar perintah, pengetahuan, dan kendali Kadensus 88.
Kondisi demikian jelas merusak soliditas kerja tim dalam unsur utama Struktur Mabes Polri terutama pada Satuan Pelaksana di struktur masing-masing yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan publik pada Institusi Polri terutama kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit sehingga nantinya memberi beban berat pada Kapolri berikutnya.
Baca juga: Kejagung Tak Lagi Ikut Campur terkait Kasus Oknum Densus Kuntit Jampidsus, Semua Diserahkan ke Polri
Secara struktur dan sistem organisasi kepolisian, mestinya tidak boleh ada unsur pelaksana khusus nonstruktural di luar unsur pelaksana yang sudah ada, juga tidak boleh menggunakan unsur pelaksana yang struktural, untuk misi di luar tugas utama sesuai Tupoksi, sebagaimana Densus 88 AT "diperintah" melakukan pembuntutan terhadap Jampidsus, tapi Kadensus 88 AT tidak mengetahui.
Ini jelas di luar Tupoksi Densus 88 AT, sehingga menimbulkan kegaduhan dan bahkan berpotensi menjadi perstiwa pidana, menyangkut merintangi tugas Jampidsus, dari mana biaya sewa rumah untuk penguntitan di Cipete Raya, apakah menggunakan anggaran rutin Polri, ini semua harus jelas agar tidak terjadi dusta di antara kedua lembaga Penegak Hukum ini.
Penyalahgunaan Densus 88
Kegiatan penguntitan oleh beberapa Anggota Densus 88 terhadap Febrie Adriansyah, Jampidsus, hingga saat ini belum dijelaskan apa motivasinya, atas perintah atau penugasan dari struktur Mabes Polri yang mana, apakah dari Kadensus 88 atau atas inisiatif sendiri, semuanya masih ditutup-tutupi, tanpa penjelasan resmi dari Kapolri.
Meskipun antara Jaksa Agung dan Kapolri sudah dipertemukan di Istana disertai kesepakatan bahwa persoalan pembuntutan dan penguntitan Jampidsus telah selesai dan dijadikan sebagai persoalan antar lembaga yang "sudah tidak ada masalah", namun hingga sekarang nama Densus 88 AT dipertaruhkan tanpa ada pelurusan.
Padahal, justru di sinilah permasalahan yang sesungguhnya "terkubur" yaitu penggunaan organ struktural Densus 88 AT, untuk misi yang bukan menjadi tugas utama Densus 88 AT, bahkan di luar perintah Kadensus 88 AT, sehingga berpotensi menjadi suatu tindak pidana yaitu "obstruction of justice".
Baca juga: Kejagung Ogah Bongkar Motif Densus 88 Kuntit Jampidsus Febrie Adriansyah: Mabes Polri Lebih Tahu
Ini diperlukan suatu proses hukum untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
Pada penyelesaian model Menko Polhukam dengan menggandeng tangan Kapolri dan Jaksa Agung di tangga Istana, tanpa klarifikasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa Febrie Adriansyah dikuntit dan mengapa dikuntit oleh Anggota Densus 88 AT, siapa yang perintahkan dan seterusnya. Ini harus diperjelas.
Timbul pertanyaan, apakah penguntitan oleh Anggota Densus 88 AT terhadap Jampidsus dimaksud dalam rangka kontrol publik atas pelaksanaan tugas Jampidsus karena sedang menangani kasus "mega korupsi" di PT Timah Tbk atau ini sebuah tindakan "obstruction of justice" yang dilakukan Densus 88 AT.