Inilah yang publik ingin tahu karena memang hak publik untuk tahu.
Di sini baik Kapolri maupun Jaksa Agung, tidak fair dan tidak transparan kepada publik, karena bagaimanapun peristiwa penguntitan terhadap Febrie Adriansyah, Jampidsus oleh Anggota Densus 88 AT, sudah menjadi isu publik apalagi memunculkan institusi Densus 88 AT sebagai salah satu unsur utama satuan pelaksana dalam struktur Mabes Polri yang sangat prestisius karena berbagai sukses besar yang dicapai Densus 88 AT dalam tugas pemberantasan terorisme di Indonesia.
Menghina Kecerdasan Publik
Nampak bahwa Presiden, Menko Polhukam, Jaksa Agung dan Kapolri mempertontonkan betapa buruknya sajian model penyelesaian masalah tersebut oleh pejabat tinggi negara di depan publik, seakan-akan publik bisa dikecoh dengan model penyelesaian yang meremehkan kecerdasan publik dan hak publik untuk tahu hal yang sebenarnya terjadi.
Setidaknya sampai hari ini tidak pernah ada penjelasan transparan dari otoritas yg berwenang baik Kapolri, Jaksa Agung maupun Menko Polhukam tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini dan bagaimana bentuk penyelesaiannya.
Meski Presiden Jokowi juga meminta agar kasus penguntitan ini segera dievaluasi tuntas oleh kedua intansi tersebut, namun hingga saat ini tidak juga berujung kejelasan bagi publik, sementara nama Densus 88 AT sudah cenderung menjadi bulan-bulanan media.
Penyelesaian summir dan gelap dengan bersalam-salaman, berpelukan dan bergandengan tangan antara Kapolri, Jaksa Agung dan Menko Polhukam sembari menegaskan tidak ada masalah, hal itu merupakan sebuah aksi manipulasi yang telah menghina kecerdasan publik seolah olah tidak ada masalah serta mengandaikan publik sebagian besar adalah pandir.
Melindungi Backing Korbankan Densus 88
Pola penyelesaian di Istana ini malah memunculkan kecurigaan publik tentang banyak hal yang tengah ditutup-tutupi di balik peristiwa ini, antara lain yang luas beredar adalah ada gesekan kepentingan para mafia tambang yang di backingi oleh oknum masing-masing institusi yang sudah berurat-berakar lama.
Belakangan kian diperjelas dengan adanya proxi yang diduga berasal dari institusi Polri ikut "menggoreng" kasus ini, dengan aksi "drone berputar-putar" di gedung Kejaksaan Agung, ada patroli pengamanan di sekitar Kejagung, hingga bermunculan "akrobat" dari Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) dan IPW (Indonesian Police Watch) yang melaporkan Jampidsus ke KPK, yang seolah mengatasnamakan kepentingan masyarakat.
Pelaporan KSST dan IPW ke KPK, ini kian memperjelas bahwa sesungguhnya ada masalah besar yang tengah ditutup-tutupi, sehingga diperlukan manuver untuk dimainkan oleh "pemain-pemain tambahan" dari luar lapangan untuk ikut cawe-cawe dan menggeser "serangan" tidak saja melalui media pers dan media sosial tapi juga lebih jauh ke halaman KPK.
Penangan kasus dugaan korupsi di PT Timah Tbk dengan mengungkap banyak pelaku dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun lebih, berdampak buruk yang menjadikan Polri dan KPK nyungsep di comberan, sementara nama Kejaksaan malah melambung tinggi di publik dan menjadi bintang idola.
Polri dicurigai sebagai backing para mafia bahkan sebagai pihak yang disebut-sebut sebagai penerima manfaat dari hasil kejahatan di bidang sumber daya alam.