TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim memastikan membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh perguruan tinggi negeri (PTN).
Keputusan ini diharapkan diikuti dengan kebijakan jangka panjang terkait pengelolaan anggaran yang memastikan layanan pendidikan murah, terjangkau, dan berkualitas.
“Kami memberikan apresiasi atas keputusan pemerintah yang membatalkan kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri. Kami berharap keputusan ini diikuti dengan kebijakan pengelolaan anggaran pendidikan yang komprehensif bukan sekadar kebijakan jangka pendek yang bersifat instan seperti skema studi loan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Selasa (28/5/2024).
Huda mengatakan keputusan pembatalan UKT merupakan sikap rasional yang diambil oleh pemerintah.
Baca juga: Respons Kampus atas Sikap Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT, UGM hingga UNY Buat Keputusan
Menurut Ketua Komisi Pendidikan DPR RI ini harus diakui kenaikan UKT di sejumlah PTN terlalu tinggi dan bisa dipastikan akan memberatkan peserta didik.
“Kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri rata-rata naik 100 persen hingga 300%. Meskipun kenaikan itu didasarkan pada Permendikbudristek Nomor 2/2024 tentang Perubahan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN,” ujarnya.
Huda menuturkan langkah pemerintah dengan mendorong PTN menjadi Badan Hukum dengan harapan bisa mengalang dana pihak ketiga merupakan langkah ideal.
Kendati demikian langkah tersebut menjadi bumerang ketika otoritas mengalang dana dari pihak ketiga itu dimaknai pengelola PTN sebagai legitimasi untuk mencari dana dari orang tua mahasiswa melalui skema UKT.
“Objektifikasi PTNBH bisa mencari dana dari pihak ketiga harusnya diikuti dengan langkah menciptakan ekosistem usaha yang bagus bagi PTN, misalnya mengharuskan perusahaan-perusahaan di Indonesia bekerja sama dengan PTN sebagai mitra dalam penelitian dan riset pengembangan usaha. Jika ekosistem ini tidak terbentuk maka pengelola PTN ujungnya menjadikan mahasiswa sebagi objek usaha,” tukasnya.
Senyampang ekosistem usaha bagi PTNBH ini belum terbentuk, kata Huda, maka pemerintah lebih baik mengoptimalkan pengelolaan anggaran 20% dari APBN untuk dana pendidikan.
Tahun 2025 anggaran pendidikan akan ada di kisaran Rp708 triliun-Rp741 triliun.
“Akan ada peningkatan anggaran pendidikan dari APBN di tahun 2025. Kami yakin jika ada perbaikan dan penajaman distribusi angggaran pendidikan maka subsidi untuk pendidikan tinggi akan bisa lebih ditingkatkan,” katanya.
Politisi PKB ini tidak sepakat jika pemerintah menjadikan skema pinjaman biaya pendidikan (stundent loan) solusi jangka panjang pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurutnya solusi itu tetap membebankan biaya pendidikan kepada mahasiswa maupun orang tua mahasiswa.
“Kami tidak sepakat jika student loan menjadi solusi jangka panjang pembiayaan pendidikan tinggi. Harus dipastikan terlebih bahwa alokasi 20% APBN maksimal menopang biaya layanan pendidikan di Indonesia. Selain itu perlu dibangun ekosistem usaha yang kompatibel dengan PTNBH, baru jika tidak ada solusi lain stundent loan bisa dijadikan sebagai opsi terakhir,” pungkasnya.