TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengatakan Upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI pada 17 Agustus 2024 akan dilakukan di dua tempat yaitu di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur yang akan langsung dipimpinnya dan di Istana Negara yang akan dipimpin oleh Wakil Presiden.
Presiden Jokowi mengatakan, Upacara 17 Agustus pada tahun depan dilakukan di IKN saja, setelah Keputusan Presiden (Keppres) tentang perpindahan IKN diterbitkan, Selasa (11/06/2024)
Rencana ini mendapat dukungan dari Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksamana Madya TNI (Purnawirawan) Prof. Amarulla Octavian, yang menyatakan Upacara Kemerdekaan RI di IKN sebagai bentuk nilai nasionalisme dan patriotisme.
Baca juga: Mantan Kepala Otorita IKN Bambang Susantono Kini Jadi Utusan Khusus Presiden
“Jadi apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara agar upacara 17 Agustus di IKN di Nusantara, itu mengandung nilai-nilai nasionalisme, nilai-nilai patriotisme,” ujarnya kepada media di Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Prof. Amarulla yang pernah menjadi Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), mengatakan, bayang-bayang kolonialisme, harusnya di Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sudah selesai.
“Jadi, kalau saya pribadi apakah mau pindah ke Palangkaraya, Jonggol atau sekarang itu ke Nusantara, bagi saya sama saja. Yang penting itu bangsa Indonesia bisa menunjukkan kedaulatannya. Kita mampu membuat ibu kota baru sebagai simbol nasionalisme, simbol patriotisme,” tutur peraih gelar Doktor (Strata-3/S3) Ilmu Sosiologi di Universitas Indonesia ini.
Prof. Amarulla menyatakan, dulu Bung Karno ketika ingin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia banyak yang ragu dan pertanyaan dari para cendekiawan karena belum punya sistem pemerintahan, belum punya undang-undang, maupun syarat-syarat bernegara lainnya yang masih tidak dipenuhi, dan dijawab oleh Bung Karno “Nanti saja, merdeka dulu baru kita urus belakangan”.
“Sama seperti sekarang dengan IKN, nilai-nilai nasionalisme itu harus lebih mengemuka. IKN yang baru adalah wujud semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia. Ini untuk generasi milenial dan generasi ke depan agar kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia itu utuh. Tidak ada bayang-bayang kolonialisme pada masa lalu,” jelasnya.
“Nah ini yang perlu diketahui oleh banyak kalangan terutama para milenial. Ini sejarah, sejarah kita sendiri. Agar para generasi muda ini punya kebanggaan nasional. Dengan ibu kota baru ini adalah National Pride,” tambahnya.
Prof Amarulla juga mencontohkan perpindahan ibu kota negara di beberapa negara maju lainnya seperti Amerika Serikat. Dari yang sebelumnya Philadelphia ke Washington DC, kota yang dirancang oleh seorang arsitektur Prancis.
Baca juga: Tenaga Ahli Otorita IKN Sebut Investor Berebut Lahan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Nusantara
“Di mana ketika itu semangatnya kenapa membuat ibu kota baru itu juga untuk menunjukkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Karena pada waktu Inggris menjajah Amerika Serikat pusatnya itu di Boston. Makanya disebut daerahnya itu kan Dominion New England atau England baru, Inggris baru. Artinya bagi orang Inggris wilayah Amerika itu merupakan wilayah Inggris yang baru. Amerika jajahan Inggris.” katanya.
Setelah itu, dalam perjalanannya terjadi pergerakan kemerdekaan Amerika Serikat. Akhirnya Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1776, dan ibu kotanya bukan di Boston.
Philadelphia menjadi ibu kota sementara sampai dengan ada keputusan senat untuk membuat ibu kota baru yang diputuskan pada tahun 1790 berlokasi di Washington DC. Hingga kini generasi muda Amerika Serikat memandang ibu kota Washington DC dengan semangat kebangsaan yang selalu menggelora.
"Amerika itu 'kan merdeka 1776. Sama seperti Indonesia, Indonesia merdeka 1945. Setelah itu Amerika perang kemerdekaan selama 6 tahun sampai dengan 1783. Sama dengan Indonesia, Indonesia juga perang kemerdekaan dari 1945 sampai 1949. Nah, perang kemerdekaan Indonesia selesai tahun 1949, salah satunya karena kemenangan diplomasi di Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Amerika Serikat juga selesai perang kemerdekaan melalui Paris Treaty," paparnya.
Menurut Prof. Amarulla, kemenangan diplomasi Amerika pada Paris Treaty tahun 1783, jadi persis sama dengan Indonesia. Ketika itu, Amerika setelah memiliki kedaulatan penuh yang dicapainya pada tahun 1783, baru ada ide untuk membuat ibu kota baru di tahun 1790.
Baca juga: Industri Pemanas Air Dukung Pembangunan IKN, Usung Komitmen Teknologi Ramah Lingkungan
“10 tahun saja, jadi Washington DC dibangun pada waktu itu hanya 10 tahun. Tahun 1800 sudah ditempati. Jadi sama persis ketika itu presiden George Washington menyelenggarakan upacara di Washington DC,” ulasnya.
Dalam catatan sejarah, Jakarta dulunya bernama Batavia. Batavia itu ibu kota pemerintahan Hindia-Belanda. Kemudian dirubah namanya oleh Jepang dan menjadi pusat pemerintahan pendudukan Bala Tentara Jepang pada masa Perang Dunia Kedua.
Amarulla mengungkapkan, kalau masih tetap di Jakarta, sebagian orang Indonesia apalagi generasi yang senior masih memandang pemerintahan yang ada sekarang ini adalah kelanjutan dari pemerintahan Hindia-Belanda, karena ibu kotanya masih tetap Batavia, apalagi istana presidennya masih istananya Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
“Kita harus memahami bahwa ibu kota di seluruh dunia utamanya adalah simbol negara, simbol nasionalisme, simbol kejayaan suatu bangsa,” pungkasnya.