Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo memberikan setidaknya 13 poin catatan kritis terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan UU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Prof Tuti, sapaan akrabnya, memulai paparannya dalam kegiatan Dengar Pendapat Publik bertajuk RUU Perubahan UU TNI dan UU Polri di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (11/7/2024) dengan menegaskan bahwa catatan yang disampaikannya terbatas pada ketentuan yang tidak diatur dalam UU yang masih berlaku saat ini yakni UU nomor 2 tahun 2002 tentang Polri.
Pertama, adalah terkait dengan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber dalam pasal 14 draf RUU Polri.
Menurutnya, definisi ruang siber sangatlah luas sehingga perlu dibatasi.
"Karena kita melihat rumusannya sangat luas, buat saya perlu dibatasi jangan sampai menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan publik. Jadi perlu dicatat dengan teliti sejauh mana irisan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata Tuti.
Kedua, terkait dengan ketentuan kewenangan Polisi dalam menyelanggarakan smart city.
Menurutnya, hal tersebut bukanlah bagian dari fungsi kepolisian.
"Jadi apakah polisi mau masuk ke sana? Sejauh mana? Kalau dalam konteks yang dibatasi dalam penegakan hukum pidana saja itu bisa kita lihat. Tapi kalau mau masuk ke mana-mana, buat saya rumusannya itu sangat luas jadi teman-teman perlu membatasi," kata dia.
Ketiga, terkait dengan ketentuan yang memberikan kewenangan kepolisian untuk bantuan dan perlindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional.
Menurutnya, makna dari kepentingan nasional itu luas sekali ya sehingga harus dibatasi mana saja yang bisa masuk tugas kepolisian.
"Karena, nanti bersinggungan nggak dengan TNI, Kejaksaan, dengan teman-teman yang lain. Ini dalam perumusan suatu pasal, suatu UU, perlu dipastikan bahwa implementasinya itu visible, dapat dilaksanakan, dan tidak multiinterpretasi, dan tidak tidak dapat diinterpretasikan secara luas ke mana-mana," kata dia.
Keempat, terkait dengan kewenangan penyadapan.
Dalam draf RUU Polri, kata dia, disebutkan polisi berwenang melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan UU yang mengatur penyadapan.
Namun, kata dia, negara belum memiliki UU penyadapan.
"Bahwa dalam berbagai UU ditemukan tentang penyadapan dan diberi kewenangan kepada Polisi, boleh-boleh saja. Tetapi bukan berarti boleh menyadap semuanya. Sekali lagi, kita belum punya UU penyadapan. Jadi kalau mau dirumuskan penyadapan dalam UU yang existing, jadi bukan mengacu pada perundang-undangan yang kita belum punya," kata dia.
Kelima, terkait dengan kewenangan dalam menjalankan diversi pada proses peradilan pidana anak.
Menurutnya, hal tersebut bermasalah karena ketentuan itu sebenarnya sudah diatur dalam ketentuan UU SPPA nomor 11 tahun 2012.
"Jadi, yang sudah ada pengaturannya di dalam UU lain menurut saya tidak perlu diulangi kembali, karena seakan-akan memperluas, padahal nggak juga. Tapi kalau anda tambahkan perluasan kewenangan polisi ya itu dipersepsi seperti itu," kata dia.
Keenam, terkait dengan teritorial polisi dalam menjalankan fungsi dan perannya pada ketentuan pasal 6 draf RUU Polisi.
Menurutnya, ketentuan tersebut sudah dirumuskan dalam KUHP Baru.
"Jadi sudah ada dalam KUHP baru itu sudah dirumuskan apa yang menjadi teritorial Indonesia. Sehingga kalau dirumuskan lagi nanti akan membuat rancu. Jadi nggak usah lah. Sudah bagus seperti UU yang lama saja, dalam yurisdiksi Indonesia di mana hukum pidana bisa diberlakukan," kata dia.
Ketujuh, ketentuan yang memberi kewenangan kepada Polri dalam memberi rekomendasi pengangkatan PPNS atau penyidik lain sebelum diangkat oleh menteri yang bersangkutan.
Menurutnya, ketentuan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kementerian atau lembaga lain.
"Jadi anda (Polisi) di atasnya. Ini menurut saya pasti akan menimbulkan resistensi dan tidak baik buat penegakan hukum kita. Kalau pelatihan, menurut saya itu memang kompetensi utama dari kepolisian melakukan pelatihan kepada calon-calon penyidik," kata di.
"Tapi kalau memberi rekomendasi, pertama menimbulkan resistensi, kedua memperpanjang red tape birokrasi (birokrasi berbelit). Jadi ini perlu dibatasi," sambung dia.
Kedelapan, kata dia, terkait dengan kewenangan Polisi dalam menerima hasil penyidikan dan atau penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar.
Menurutnya, tidak masalah bila kewenangan polisi hanya untuk memberi surat pengantar.
Akan tetapi, bila hal tersebut menjadi kewajiban maka akan membelit-belitkan birokrasi (red tape birokrasi)
"Buat saya itu mengesankan sebagai prime investigator body. Jadi di atas semuanya. Padahal Jaksa, Pak Sugeng juga penyidik ya dalam kasus tindak pidana tertentu, tindak pidana khusus. Nah itu, padahal nanti hasil penyidikannya diserahkan juga ke Jaksa, tapi Jaksanya diperiksa dulu. Jadi ya mana ini? Menurut saya agak kesulitan," kata dia.
Sembilan, terkait dengan kewenangan polisi untuk melakukan penindakan pemblokiran, pemutusan, perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Masalahnya, kata dia, yang pertama luasnya definisi ruang siber.
Kedua, dalam jurisprudensi terkait dengan konflik di Papua sudah terdapat putusan pengadilan yang menyatakan melarang pemutusan akses internet.
"Ini tolong diperhatikan juga. Jadi harus sangat spesifik. Kenapa ya langsung melakukan pemblokiran, penindakan itu? Di mana irisannya dengan Kemenkominfo? Dan apakah ini bisa langsung dilakukan oleh anggota Polisi sendiri? Tidak perlu misalnya adanya putusan pengadilan kalau mau memblokir. Ini kan sama dengan menyita ya kalau dalam barang-barang secara fisik," kata dia.
Selain itu, menurutnya harus disesuaikan dengan fungsi, kompetensi, dan otoritas dari kepolisian sendiri.
Dengan demikian, kalau ketentuan tersebut dirumuskan sebagaimana dalam draf RUU Polri maka akan menimbulkan kesan bahwa polisi berada di atasnya lembaga lain yang menangani informasi dan telekomunikasi.
"Jadi ada potensi membatasi kebebasan berekspresi tadi. Saya tahu maksudnya mungkin bukan begitu, tetapi cara anda merumuskannya seakan-akan mau membatasi kebebasan berbicara berpendapat yang sekarang sudah, kok agak mulai-mulai ya. Buat saya agak repot juga ini," kata dia.
Sepuluh, terkait kewenangan polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif (RJ).
Menurutnya, belum ada kesamaan pandang tentang apa itu restoratif justice baik di kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.
"Oleh karena itu buat saya sebaiknya yang terbaik didrops saja ini. Karena kita belum punya UU tentang RJ. Sudah saya usulkan," kata dia.
Ke-11, ia mengkritisi pasal tentang kegiatan intelkam Polri.
Menurutnya, betul bahwa kegiatan intelijen keamanan Polri mengacu pada UU Intelijen Negara.
Akan tetapi ketika masuk kewenangannya, kata dia, harus berhati-hati.
"Yaitu melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulan terhadap setiap hakikat ancaman. Dan ancaman itu sangat luas sekali termasuk keberadaan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi HAM," kata dia.
"Sampai mana batasnya? Karena ancaman itu sangat luas. Ancaman itu bisa fisik, bisa non fisik. Di mana batasnya? And who's going to do that? Sekarang kita punya 430 ribu anggota Polisi. Apakah cukup? Karema kalau kita lihat itu setiap anggota polisi menangani 11 ribu masyarakat. Jadi sepertinya tidak mungkin untuk melakukannya," sambung dia.
Ke-12, lanjut dia, ketentuan yang mengatur terkait kewenangan Polri untuk meminta keterangan.
Ia mengatakan rumusan ketentuan tersebut mengesankan seakan pemberian kewenangan melakukan upaya paksa dalam proses penyidikan.
"Kalau saya minta harus bisa dikasih lho. Bahkan minta ke BIN juga harus dikasih, kenapa? K/L mana saja itu bisa dimintai keterangannya. Kalau dirumuskan di sini apakah itu menjadi kewajiban bagi pihak yang memberikan? Padahal BIN itu yang menjadi fungsi utamanya intelijen," kata dia.
Ke-13, ia juga mengkritisi terkait ketentuan yang memberi kewenangan kepada polisi untuk melakukan pemeriksaan aliran dana.
Menurutnya, hal tersebut berbahaya.
"Lho PPATK dikemanain? Penggalian informasi. Yang lain bagaimana? Karena tidak ada batasannya dapat merambah ke kewenangan lembaga lain yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakpastian hukum. Jadi seseorang atau satu lembaga itu bisa diperiksa oleh berbagai lembaga yang buat saya ini sangat mencemaskan masyarakat," kata dia.
"Sudah disuruh, didatangi, harus menjawab pertanyaan dari berbagai lembaga untuk isu yang sama. Nah akhirnya menimbulkan keresahan publik," sambung dia.
Namun demikian, ia juga mencatat terdapat juga kritik dari sejumlah tokoh maupun masyarakat di mana ketentuan tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU Polri yang masih berlaku saat ini.
Ia mencontohkan di antaranya terkait kewenangan untuk pengelolaan tahanan dan barang bukti dan yang berkaitan dengan pembinaan hukum nasional.
Akan tetapi, menurutnya hal tersebut tetap perlu diselaraskan dan dijawab ke depannya.
"Dan ternyata banyak catatan teman-teman itu terutama mengenai kewenangan yang sebenarnya sudah diatur dalam UU 2/2002. Oleh karena itu, ini harus kita perhatikan. Kenapa dulu kok diam saja ya?" kata dia.
Di akhir paparannya, Prof Tuti tampak terkejut karena paparannya pada slide yang ditayangkan telah berakhir ditandai dengan slide bertuliskan Terima Kasih.
Ia pun berkelakar karena seharusnya paparannya masih ada 80 slide lagi.
Namun, karena keterbatasan waktu paparan selama 20 menit sehingga paparannya perlu dibatasi.
"Lho sudah selesai ya? Sudah terima kasih ya. Oh ternyata dipotong tadi, harusnya ada 80 slide tapi karena dikasih 20 menit jadi mohon dimaafkan, semuanya harus singkat terima kasih," kata Prof Tuti yang disambut dengan banjir tawa dan tepuk tangan dari oara peserta acara tersebut.