News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU TNI, Imparsial Sebut 5 Usulan yang Dinilai Bahayakan Demokrasi

Penulis: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi TNI. DPR diminta tidak melanjutkan pembahasan RUU TNI.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI dan Pemerintah diminta tak melanjutkan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Apa alasannya?

Ardi Manto Adiputra , Wakil Direktur Imparsial, mengungkapkan, berdasarkan dokumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang beredar di publik, terdapat sejumlah masalah yang jauh lebih parah dari naskah RUU TNI versi Baleg yang membahayakan HAM serta merusak tata kelola negara demokrasi.

"Kami memandang DPR RI sebaiknya menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI, mengingat revisi UU TNI bukan hanya tidak mendesak, tetapi DPR juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pembahasan," katanya, Kamis (18/7/2024).

Ia mengingatkan, DPR pada saat ini sedang memasuki masa reses dan baru pada pertengahan Agustus akan kembali masuk masa sidang.

Artinya, praktis, DPR hanya memiliki waktu yang sangat singkat yakni kurang lebih 1 bulan untuk menyelesaikan pembahasan revisi UU TNI.

"Dengan waktu yang singkat tersebut, kami sangsi DPR mampu menyelesaikan revisi UU penting ini secara optimal dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna secara luas."

Lebih dari itu, sambungnya, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.

"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI."

Ia menggarisbawahi, berdasarkan naskah DIM yang ada, Imparsial menilai terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM, antara lain:

Pertama, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung ketahanan pangan dan pembangunan nasional.

Kedua, Perluasan peran menjadi aparat penegak hukum. Dalam naskah DIM pasal 8 disebutkan bahwa angkatan darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Ketentuan ini keliru dan betentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

Apabila revisi UU TNI disahkan makan sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri.

Penting untuk diingat TNI tidak dimaksudkan sebagai aparat penegak hukum akan tetapi TNI dibiayai, dipersenjatai, dipenuhi kebutuhan alutsista canggihnya semata dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan bukan sebagai penegak hukum.

Ketiga, penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI.

Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit.

Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Keempat perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif.

Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam naskah DIM revisi UU TNI Pasal 47 Ayat (2) dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.

Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.

Dengan demikian, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.

Lebih jauh, adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara.

Ombudsman RI sendiri mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Belakangan ini juga ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.

Penting untuk dicatat, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada tahun 1998.

Oleh karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan secara perlahan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru.

"Berdasakan pandangan di atas, kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini