TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Membangun kemandirian pangan tidak bisa hanya di slogan saja.
Tapi harus melalui kebijakan dan anggaran.
Sehingga Indonesia bisa berubah menjadi negara penghasil pangan dunia.
Anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengaku merasa prihatin dan miris saat melihat anggaran Kementerian Pertanian yang 'hanya' berkisar Rp 8 triliun yang disetujui oleh Kementerian Keuangan untuk tahun anggaran 2025.
Anggaran ini turun drastis dari anggaran Pertanian di tahun 2018 yang sudah berkisar Rp 24 trilliun.
Walaupun Mentan mengajukan penambahan sebesar Rp 51.7 trilliun di hadapan Komisi IV DPR-RI.
"Sepertinya Kementerian Keuangan itu tidak paham ya, kalau pangan itu adalah penggerak ekonomi yang paling utama di Indonesia. Bahkan dari 67 juta UMKM sebagai penggerak ekonomi sekitar 60 persen dari total perputaran ekonomi di Indonesia itu 50 persen nya adalah UMKM yang sangat bergantung kepada beras atau nasi," tegas BHS, sapaan akrabnya, Senin (22/7/2024).
Ketua Dewan Penasehat Pasar se-Jawa Timur ini menegaskan sektor pangan adalah sektor vital suatu negara dan juga sektor paling dasar dalam menjaga kehidupan manusia.
Dan menjadi tonggak pertumbuhan dan kecerdasan generasi muda.
"Ingat di 2035 nanti, kita menghadapi bonus demografi. Banyak anak anak yang saat ini tumbuh akan menjadi andalan Indonesia di 10 tahun yang akan datang yang tentunya membutuhkan pangan yang bergizi. Sehingga sehat dan pintar," ujarnya.
"Dari aspek ekonomi, bila beras sudah berubah menjadi nasi, nilai ekonominya akan meningkat. Dan tentu dari nasi akan berdampak munculnya lauk pauk. Sehingga peningkatan nilai ekonomi karena beras menjadi berpuluh kali lipat setelah jadi nasi yang berlauk pauk. Dan memberikan kehidupan untuk sektor lainnya, termasuk minuman. Kan begitu ya," ungkapnya.
Dan yang perlu dipahami juga adalah pangan merupakan basis dari bisnis UMKM yang selama ini menunjang perekonomian nasional. Jadi bisa dibayangkan jika pangan itu menjadi barang langka dan mahal.
"UMKM kita itu mengambil porsi sekitar 70 persen dari perekonomian nasional kita dan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja nasional. Sudah seharusnya jika pemerintah lebih fokus dan memahami pentingnya kestabilan dan ketahanan pangan kita untuk stabilitas perekonomian yang ada di negara kita," ungkapnya lagi.
BHS yang juga Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra ini mengatakan bahwa Indonesia yang sebagai Food Country atau kitohnya sebagai negara penghasil pangan karena letak geografis di garis katulistiwa dengan curah hujan yang terbesar nomor 5 di dunia.'
Demikian juga, kata dia, Indonesia sumber air nomor 8 terbesar di dunia serta jumlah gunung berapi nomor 3 terbanyak di dunia yang menghasilkan berbagai kandungan mineral untuk kesuburan tanah serta getaran untuk melapukkan tanah sehingga menghasilkan tanah yang maha subur untuk berbagai tanaman di wilayah negara kita.
"Dan kita harus tahu juga bahwa saat lalu Belanda melalui perserikatan dagangnya yaitu VOC, pernah memanfaatkan perdagangan rempah rempah dan hasil pokok pangan seperti beras, jagung,tebu dan perkebunannya seperti kopi, coklat, teh, tembakau dan lain lain, bisa menjadi organisasi yang memiliki kekayaan terbesar di dunia sampai mencapai 7.9 trilliun USD atau setara dengan Rp 129 ribu trilliun," ujarnya.
"Jadi kekayaan dari sektor pangan tersebut tidak akan habis bila kita bandingkan dengan hasil sumber daya alam pertambangan. Dan kita harus tau bahwa pangan juga merupakan pendukung utama dari pertahanan negara," katanya.
Tanpa pangan kekuatan pertahanan, BHS mengatakan kita walaupun alat tempur dan sumber daya manusia nya hebat, tanpa pangan kita tidak bisa apa apa.
"Makanya banyak negara bila berperang yang dihancurkan adalah lumbung pangannya, Maka negara itu akan kalah dalam peperangan. Karena rakyatnya akan mati kelaparan," ungkapnya.
BHS mengatakan usulan Kementan untuk menaikkan anggaran pertanian untuk pupuk subsidi, benih bibit unggul, obat obatan hama, kebutuhan irigasi pertanian, dan lain lain.
Karena saat ini kita memiliki lahan tanam sebanyak 70 juta hektar, tetapi yang dimanfaatkan untuk tanam padi hanya 7 juta hektar. Yang seharusnya 7 juta hektar pun bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional yang sekitar 31 juta ton beras.
Menurut dia dengan 7 juta hektar bila sekali panen per hektarnya adalah 8 ton gabah, maka hasil nasional sekali panen seharusnya 56 juta ton gabah, atau setara dengan 35 juta ton beras.
Dan bila panen normal dalam satu tahun bisa 3 kali, maka hasil beras di Indonesia bisa mencapai sekitar 100 juta ton.
Berarti Indonesia bisa berswasembada pangan sekaligus menjadi lumbung pangan dunia.
Karena sisanya sekitar 70 juta ton untuk disimpan dan sebagian di ekspor ke negara yang membutuhkan.
"Jangan sampai kita menjadi negara yang selalu ketergantungan pangan dari negara lain, sehingga kita menjadi lemah dan bisa dikendalikan oleh negara lain," ujarnya.