Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri mendesak Polda Yogyakarta menghentikan proses hukum terhadap pengacara LBH DIY Meila Nurul.
Diketahui dalam sebuah konferensi pers, Meila menyebutkan nama lengkap diduga tersangka pelaku kekerasan seksual. Diduga pelaku berinisial IM kemudian tak terima dan melaporkan Meila ke polisi.
Baca juga: Hutama Karya dan Yayasan Kakak Berkolaborasi Edukasi Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak di Surakarta
“Ini bukan risiko kerja, ini adalah pembungkaman terhadap kerja-kerja yang dilakukan pembela HAM. Karena ini bukan yang pertama kalinya, ini yang kesekian kalinya,” kata Nurina di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (25/7/2024).
Artinya, kata Nurina memang aparat penegak hukum tidak memahami atau tidak mau tahu mengenai kerja-kerja para pembela HAM. Salah satunya, Meila yang mendampingi para korban dari pelanggaran HAM.
“Saya lihat negara ini tidak juga memperbaiki situasi hak asasi manusia yang ada di Indonesia. Utamanya yang terkait dengan kerja-kerja para pembela HAM. Fenomena ini nggak hanya hari ini, tapi sudah menjadi pekerjaan rumah dari bertahun-tahun lamanya dan juga tidak diperbaiki,” lanjutnya.
Baca juga: Rektor PTS di LLDikTi III Tandatangani Pakta Integritas Anti-Kekerasan Seksual
Atas kejadian tersebut, ia mendesak Polda DIY untuk menghentikan kasus yang menimpa pengacara LBH DIY Meila Nurul.
“Saya mendesak agar aparat penegak hukum segera menghentikan proses hukum yang menimpa Meila. Dan betul-betul berkomitmen untuk melindungi kerja pembela HAM serta melindungi HAM yang ada di negara ini,” tegasnya.
Diketahui Polda DIY telah menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka pencemaran nama baik terkait pendampingannya pada kasus kekerasan seksual di Yogyakarta.
Sebagai Pengacara LBH Yogyakarta, Meila telah membela 30 korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, mantan pelajar sekaligus Mahasiswa Berprestasi Universitas Islam Indonesia (UII).
Sebelumnya, Universitas Islam Indonesia juga telah melakukan penindakan dengan membentuk tim pencari fakta untuk mengumpulkan keterangan dari para penyintas dan juga tim pendampingan psikologis.
Pencarian fakta tersebut menghasilkan temuan adanya 11 korban pelecehan seksual IM. Mengingat bahwa tidak semua korban tidak mau menyampaikan kesaksiannya karena trauma, malu, takut/cemas, bahkan hingga stress.
Baca juga: Menteri PPPA Menilai Kasus Kekerasan Seksual Seperti Fenomena Gunung Es
Kesaksian 11 penyintas tersebut kemudian menjadi landasan Ull untuk mencabut gelar Mahasiswa Berprestasi tahun 2016 yang disematkan kepada IM. Pencabutan tersebut digugat oleh IM ke PTUN dengan nomor perkara 17/G/2020/PTUN.YK16 Sep 2020. Namun PTUN menolak gugatan yang diajukan.
Ditolak di PTUN, IM kemudian melaporkan Meila ke Polda DIY. Laporan terhadap Meila oleh IM terjadi karena siaran pers yang menyebutkan nama lengkap IM.
Alih-alih mendukung dan melindungi korban, Polda DIY malah menetapkan Meila sebagai tersangka. Proses penanganan kasus oleh Penyidik Polda DIY mengabaikan fakta-fakta penting yang menunjukkan IM sebagai pelaku kekerasan seksual, bahkan setelah adanya bukti dari Ull.