Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengungkapkan keresahannya pada praktik demokrasi yang saat ini terjadi di Indonesia.
Ia mengatakan implementasi konstitusi dalam praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami devisasi dan tidak lagi dijalankan secara murni dan konsekuen dalam perjalanan sejarah konstitusi.
Baca juga: Ketum Golkar Kosong, Bamsoet Banjir Tepuk Tangan Saat Bilang Ingin Mencalonkan di Atas Podium
Konstitusi, kata dia, ditafsirkan menurut selera dan bukan lagi merujuk pada tujuan awal dan niat baik dari rumusan naskah Undang Undang Dasar.
"Apakah semangat menciptakan kotak kosong juga bagian dari pada mengartikan demokrasi yang kita cita-citakan? Ini juga harus menjadi jawaban kita semua. Kalau ya, ya mari kita hormati itulah fakta demokrasi," kata Bamsoet saat menyampaikan pidato kuncinya dalam Seminar Hari Konstitusi bertajuk Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Minggu (18/8/2024).
Untuk itu menurutnya sistem demokrasi yang dipilih saat ini perlu dievaluasi kembali manfaat dan mudaratnya.
Baca juga: Ketua MPR RI Bamsoet Sumbangkan 38 Judul Buku Karyanya ke Perpustakaan Sekretariat Jenderal MPR RI
Hal tersebut, kata dia, karena ongkos demokrasi sangat mahal, bersifat transaksional, dan membuat masyarakat pragmatis.
"Maka kita hari ini terjebak pada sistem demokrasi angka-angka. Sistem demokrasi transaksional. Sistem demokrasi NPWP, nomor piro wani piro," kata dia.
Sambil berkelakar, ia pun meminta kepada para calon anggota legislatif yang tidak terpilih dalam Pileg 2024 bersyukur karena masih bisa sehat.
Bamsoet pun turut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 sambil berkelakar.
"Bersyukurlah teman-teman hari ini yang nggak kepilih masih bisa sehat. Nggak ketawa sendirian. Saya khawatir pilkada serentak besok, akan menambah orang-orang yang gembira, tapi sendirian ketawanya. Mudah-mudahan tidak," kata dia.
Pada bagian lain pidatonya, ia mengatakan 26 tahun reformasi mengantarkan bangsa Indonesia kepada euforia demokrasi.
Saat ini, kata dia, mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi untuk melakukan amandemen terhadal Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengerokesi kembali hasil amandemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2022.
Terkait wacana amandemen tersebut, kata dia, MPR telah menangkap setidaknya lima aspirasi yang berkembang.
Pertama, kata dia, adalah amandemen terbatas yaitu terkait penambah kewenangan MPR dalam membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan menambah 2 ayat di 2 pasal.
Kedua, melakukan penyempurnaan atau kajian menyeluruh terhadap UUD 1945 hasil amanedemen sebelumnya.
Ketiga, lanjut dia, kembali kepada UUD 1945 dekrit presiden 5 juli 1959.
Baca juga: Pidato Sidang Tahunan MPR, Bamsoet Paparkan Urgensi Pembentukan Matra Angkatan Siber
Keempat, lanjut dia, kembali ke UUD 1945 yang asli yakni 17 Agustus 1945 yang disempurnakan pada 18 Agustus melalui adendum.
Kelima, yang terakhir UUD hari ini sudah baik dan tidak perlu diamandemen.
"Jadi ada 5 arus besar ditengah-tengah masyarakat yang mengigningkan perubahan atau tidak ada perubahan di UUD kita," kata dia.
Calon Tunggal Diprediksi Meningkat
Diberitakan sebelumnya, jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024 diprediksi mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Prediksi itu di antaranya didasarkan pada data peningkatan signifikan calon tunggal peserta Pilkada sejak tahun 2015 sampai 2020.
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mencatat sejak 2015 sampai 2020 tercatat terdapat 52 dari 53 Pilkada di berbagai daerah yang dimenangkan calon tunggal.
Dari data tersebut kemenangan calon tunggal melawan kotak kosong mencapai 98,11 persen.
Selain itu, lanjut dia, lebih dari 80 persen dari total 52 calon tunggal yang memenangkan Pilkada sejak 2015 sampai 2020 tersebut adalah petahana.
Untuk itu, kata dia, KPU perlu melakukan terobosan untuk menjamin hak pilih setiap warga negara dalam Pilkada serentak 2024.
KPU, menurut Titi bisa melakukan terobosan dengan merujuk pada apa yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menerbitkan Peturan MK nomor 4 tahun 2015.
Dengan aturan tersebut, kata Titi, MK telah memberikan legal standing kepada pemantau pemilu terakreditasi sebagai Pemohon (bila yang menang calon tunggal) atau Pihak Terkait (bila kotak kosong yang menang) apabila Pilkada berlangsung dalam kondisi calon tunggal melawan kotak kosong.
Mestinya, lanjut dia, terobosan MK itu bisa juga diikuti oleh KPU agar pendukung kotak kosong mendapatkan perlakuan yang adil sebagaimana yang didapatkan oleh pendukung calon tunggal.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024).
"Oleh karena itu, saya mengusulkan KPU bisa memberikan fasilitasi dan hak kepada pendukung kolom kosong untuk berkampanye di Pilkada. Jadi KPU juga harus fasilitasi. Kalau KPU fasilitasi calon tunggal untuk berkampanye, mestinya fasilitasi yang sama juga bisa terhadap kolom kosong," kata dia.
"Karena ini kan dilakukan dengan misalnya alat peraga, iklan di media massa, cetak dan elektronik yang didesain, supaya KPU tidak dibilang partisan, serahkan saja kepada kelompok independen yang ditunjuk oleh KPU untuk mendesain materinya," sambung Titi.
Baca juga: Pidato Sidang Tahunan MPR, Bamsoet Paparkan Urgensi Pembentukan Matra Angkatan Siber
Calon Tunggal Dinilai Berbahaya
Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memandang hadirnya calon tunggal dalam Pilkada merupakan gejala otoritarianisme politik.
Menurut Amiruddin hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
Begitu partai politik (parpol) atau sekumpulan parpol mengajukan calon tunggal, kata dia, maka dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.
Dengan melihat esensi tersebut, menurut dia calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.
"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amiruddin.
Selain itu, ia juga memandang calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan.
Salah satu caranya, kata Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.
Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada.
Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.
"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," kata Amiruddin.
"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut dia.
Ia juga memandang calon tunggal adalah upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan dilakukan banyak aktor.
Dalam ilmu politik, menurut dia, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.
"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata Amiruddin.
Baca juga: Momen Puan Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran dan Bamsoet Layangkan 2 Pantun
Perlu Diatur
Melihat kondisi tersebut, Anggota KPU RI Periode 2017 sampai 2022 Evi Novilda Ginting, memandang KPU bisa memfasilitasi pendukung kotak kosong.
Namun, menurut dia, apabila muncul kekhawatiran KPU tidak independen maka menurutnya ada cara yang bisa dilakukan untuk meredam kekhawatiran itu.
"Misalnya menyerahkan, atau bisa mengakreditasi lembaga-lembaga di daerah yang bisa melakukan dan difasilitasi melalui kampanyenya," kata Evi.
"Ini tentu perlu diatur agar kemudian semua proses baik itu di pencalonan maupun di kampanye itu bisa berjalan dengan tertib. Dan semua pihak bisa saling menghormati," sambung Evi.
Selain itu, ia juga memandang regulasi yang terkait dengan implikasi ketika kotak kosong memenangkan kontestasi juga tetap perlu dirumuskan.
Hal tersebut, menurutnya juga perlu dilakukan dalam rangka keadilan bagi calon tunggal yang ikut kontestasi.
"Kita harapkan juga ini bisa mendapatkan perbaikan-perbaikan ke depannya," kata Evi.