Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Kelima RI yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri meminta agar hak rakyat untuk memilih pemimpinnya diberikan dengan seluas-luasnya, tanpa ada upaya menghambat dan mengatur-atur sesuai keinginan diri sendiri dengan cara melawan aturan Konstitusi yakni Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Megawati merasa gelisah dengan dinamika politik belakangan ini.
Sebab dia menilai ideologi Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia seharusnya menjadi landasan terpenting di dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun di dalam praktiknya, wajah kekuasaan kini lebih dominan ditampilkan daripada wataknya yang membangun peradaban.
Hal itu disampaikan Megawati saat menyampaikan pidatonya dalam pengumuman calon kepala daerah PDIP gelombang kedua, di Kantor DPP Partai, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024).
Awalnya, Megawati bercerita tentang bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara dibentuk dan dibangun oleh para pendiri Bangsa, dengan komitmen, ketaatan, dan penghormatan bersama kepada aturan hukum yang disepakati sebagai rule of the game.
Bagi Megawati, Indonesia bisa berdiri dengan baik hingga saat ini, salah satunya adalah karena para elite tersebut mampu menghargai aturan tersebut.
"Jaman segitu para Bapak pendiri bangsa itu sudah betul-betul menghargai rule of the game. Coba kalau tak begitu, bayangkan situasinya. Mestinya kita begitu juga. Mestinya rule of the game, rule of Indonesia ini harus dijalankan. Jangan bikin aturan-aturan sendiri. Betul apa tidak?" kata Megawati, yang dijawab "Betul" oleh peserta.
Begitu pentingnya menghormati Konstitusi negara, menurut Megawati, maka presiden dan wakil presiden RI wajib disumpah untuk memegang teguh UUD dan harus menjalankan UUD dengan selurusnya.
Sumpah yang diucapkannya, adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; juga disertai dengan janji presiden dan wakil presiden kepada seluruh rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
"Amanat konstitusi ini sangat jelas dan tegas. Jangan coba-coba untuk merubahnya. Kecuali dimanakah boleh terjadi amandemen?" kata Megawati.
Di dalam Konstitusi, lanjut Megawati, di pasal 24C ayat 1, diatur juga bahwa 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final'.
"Ingat, Final... Final... Final. Bahasa kerennya final and binding. Coba loh, kalau ada orang menantang apa yang bunyi di pasal ini, berarti dia bukan orang Indonesia," kata Megawati.
"Jadi amanat ini tidak bisa ditafsirkan lain. Karena itulah mengingkari keputusan MK sama artinya dengan pelanggaran terhadap konstitusi," tegas Megawati.
Ketua Dewan Pengarah BRIN ini lalu menceritakan pengalaman dirinya sebagai saksi sejarah dan sekaligus korban, merasakan dampaknya ketika konstitusi disalahgunakan.
Megawati sampai beberapa kali terlihat menahan emosi ketika bercerita tentang pengalamannya tersebut.
Dari situ, Megawati mengingatkan semua pihak bahwa meskipun Pemilu bersifat langsung, namun landasan etika dan moral politik itu sifatnya mutlak. Dan Indonesia itu negara hukum, bukan negara kekuasaan. Di atas hukum ada etika dan moral penyelenggara negara.
"Begitu pentingnya aspek etika dan moral itu, sehingga di Amerika Serikat misalnya, yang namanya pemimpin berbohong itu haram hukumnya. Hal yang sama juga berlaku untuk Indonesia. Atas dasar hal tersebut, boleh saja seseorang punya kepentingan terhadap kekuasaan, namun harus sesuai rules of the game; sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Ambisi kekuasaan jangan di pegang sendiri, lalu menjadikan pihak lain sebagai “wayang”untuk menyembunyikan kepentingan kekuasaannya," beber Megawati.
"Kehidupan suatu bangsa bisa hancur berantakan jika tidak kokoh pada konstitusi. Karena itulah kita harus bersatu menyelamatkan negara hukum dan demokrasi. Inilah agenda politik terpenting saat ini. Pilkada jangan menjadi ajang manuver kekuasaan, lalu menghilangkan kontestasi yang sehat dan demokratis," pungkasnya.