TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 tahun 2024 membolehkan partai politik di DPRD mengusung calon kepala daerah di Pilkada.
MK menilai aturan ini untuk menjaga suara sah yang diperoleh partai hasil Pemilu, agar dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi.
Baca juga: 3 Langkah PDIP usai Baleg Anulir Putusan MK: Megawati Umumkan 169 Cakada, Anies Berpeluang Diusung?
Praktisi Hukum Nasrullah menilai, harusnya pandangan MK tersebut juga berlaku dalam menjaga suara partai di DPR.
Karena ada partai politik tidak bisa menyalurkan aspirasi di DPR lantaran terhalang aturan ambang batas parlemen atau parlementary threshold.
Namun, dia mengungkapkan, MK selalu menolak perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait ambang batas parlemen selalu ditolak.
“Harusnya (pemahaman serupa juga digunakan di DPR), cuma kan PHPU terkait hal tersebut selama ini masih sering ditolak MK, alasannya selalu karena open legal policy atau tujuan penyederhanaan jumlah partai politik,” kata Nasrullah saat dihubungi, Kamis (22/8/2024).
Baca juga: Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi: DPR Harus Hormati Putusan MK
Menurutnya, putusan MK ini juga akan berdampak pada peraturan untuk mengusung presiden di Pemilu 2029 mendatang.
Walaupun, pertanyaan selanjutnya apakah partai nonparlemen akan bisa mengusung calon presiden.
Mengacu kepada petusan MK, Nasrullah melihat, ada suara rakyat yang juga terabaikan lantaran partai yang didukung tidak masuk ke parlemen.
“Melalui putusan 60 kemarin, sepertinya kita melihat akan ada perkembangan wacana ke arah sana untuk menyamakan pengaturan presiden treshold, pertanyaan hukum yang akan muncul apakah memungkinkan partai non parlemen kedepannya dapat mencalonkan calon presiden atau seperti apa,” katanya.
Sebelumnya, MK sependapat aturan yang digugat Partai Buruh dan Partai Gelora membatasi pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu meskipun tidak memiliki kursi di DPRD.
Akibatnya, mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
"Sebab, suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya," kata Hakim MK.
MK menyebut bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis.
Salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon.