TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bencana alam mengintai manusia setiap saat akibat sumberdaya yang tidak dikelola dengan benar.
Salah satu sumberdaya tersebut ialah air tanah yang menjadi konsumsi utama manusia.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan air tanah dilakukan secara berlebihan hingga mengakibatkan penurunan tanah lalu menimbulkan bencana ekologis.
Baca juga: Air Sumber Kehidupan: Apa itu Air Tanah dan Mengapa Sangat Penting?
Eksploitasi air tanah juga terlihat ketika sejumlah pihak membangun komplek-komplek perumahan.
Ribuan unit rumah yang terbangun diikuti oleh penggalian sumur untuk mendapatkan air tanah. Jika dalam satu komplek terdapat 10.000 unit rumah, maka akan tergali sumur bor sebanyak 10.000 sumur.
Persoalan ini mendapat perhatian Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi (LTN) PBNU, Ishaq Zubaedi Raqib.
Menurutnya, media-media perlu menggencarkan edukasi dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat terkait bencana yang dapat ditimbulkan akibat eksploitasi air tanah.
"Kita perlu terus disadarkan agar tidak terlalu mengandalkan air tanah. Namun, masyarakat juga perlu segera dicarikan solusi agar muncul kesadaran, antara lain lewat penetrasi media," ujar Ishaq Zubaedi Raqib, dalam keterangannya Minggu (1/9/2024) di Jakarta.
Baca juga: Badan Geologi Rencana Tambah 9 Balai untuk Mempercepat Izin Pengusahaan Air Tanah
Menurutnya, media agar tidak bosan-bosan setiap saat mengedukasi dengan berbagai bentuk publikasi, baik grafis, tulisan, maupun video terkait krisis ekologis yang disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebihan dan tidak diperkenankan oleh undang-undang.
"Bagi media-media, penting memberi pemahaman secara terukur, terpola dan masif kepada publik," tegasnya.
Mungkin juga, katanya, penting membangun kesadaran lewat pintu agama, misal pendekatan hukum fiqih.
Sehingga hal ini bisa jadi panduan bagi tokoh-tokoh agama dalam memberi pemahamaan terkait krisis lingkungan, yang bisa jadi problem dalam beribadah.
"Dalam komplek perumahan, ketika air dari sumur berdekatan dengan septiktank, itu potensial mengundang bakteri negatif seperti Escherichia coli atau E. coli. Bakteri ini potensial mengubah status air yang awalnya air mutlak (suci dan menyucikan), bisa tidak mutlak lagi. Sifatnya suci saja, tetapi tidak menyucikan, karena perubahan warna, rasa, dan bau," jelasnya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan masyarakat terkait korelasi dampak buruk pengambilan air tanah berlebihan bagi lingkungan, karena dapat memicu penurunan tanah atau land subsidence.
Masih menurut data BRIN, kenaikan muka air laut yang akibat dampak perubahan iklim, terjadi sekitar 3-10 milimeter per tahun. Fenomena tersebut juga membuat bangunan menjadi miring sehingga merugikan secara ekonomi.
Upaya menjaga menjaga keberlanjutan air tanah terus dilakukan pemerintah. Aturan terbaru, masyarakat yang pakai air tanah wajib mendapat izin dari Kementerian ESDM. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah.
Aturan ini diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 14 September 2023. Pada aturan tersebut disebutkan bahwa baik instansi pemerintah, badan hukum, lembaga sosial, maupun masyarakat perlu mengurus izin penggunaan air tanah dari sumur bor atau gali.
Mustain, Direktur PT Tirta Riau juga menggarisbwahi problematika air tanah ini. "Air adalah sumber kehidupan. Anugerah dari Tuhan yang tak tergantikan oleh apapun. Terutama air yang layak digunakan untuk minum, dan faktor utama dalam ibadah bagi kaum muslimin," kata Mustain.
"Lewat pengolahan air degan kualitas air layak minum, maka seyogianya ia juga akan dapat memenuhi kategori bersih dan juga suci sekaligus menyucikan," ujar Mustain menambahkan. (*)