TRIBUNNEWS.COM – Rencana pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mensahkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik pada akhir September ini, disayangkan sejumlah elemen pertembakauan.
Asosiasi Masyarakat Tembakau (AMTI) mengkritik keras upaya kejar target yang dilakukan Kemenkes ini. Proses penyusunan dinilai cacat karena tidak adanya pelibatan pemangku kepentingan terdampak dan konsultasi lintas Kementerian/Lembaga yang menaunginya.
Dalam Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang diselenggarakan Kemenkes pada Selasa (3/9) lalu, Ketua Umum AMTI, I Ketut Budhyman Mudara, mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah yang abai terhadap prinsip partisipasi bermakna.
Langkah Kementerian Kesehatan dikatakan terburu-buru dalam menyusun RPMK. Selain itu, mengabaikan dampak masif dari polemik PP No 28 Tahun 2024 yang saat ini telah menimbulkan kegaduhan.
"Seharusnya public hearing itu dilakukan secara fair. Representasi hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan wajib diundang, diberi ruang untuk memaparkan fakta dan realita," papar Budhyman, dalam keterangannya kepada Tribunnews, Sabtu (7/9/2024).
"Yang terjadi sebaliknya, hanya tiga elemen yang diundang. Kami nekat hadir untuk menunaikan hak kami sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk memberikan masukan walaupun tidak diundang oleh Kemenkes."
"Sementara elemen pemerhati kesehatan dan berbagai LSM yang mengatasnamakan kesehatan diundang hampir 50 asosiasi," sambungnya.
Baca juga: Ekonom Berharap Pemerintah Pertimbangkan Berbagai Aspek dalam Penerapan PP Kesehatan
Budhyman juga menilai, Kemenkes abai terhadap enam juta tenaga kerja yang akan terdampak dari langkah pengetatan Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik dalam RPMK.
Padahal di tengah situasi pertumbuhan ekonomi yang melambat, kebijakan yang membabi buta justru akan memperparah jurang pengangguran dan akan menambah beban Pemerintahan yang akan datang.
"2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu pekerja SKT, UMKM hingga pekerja kreatif akan jadi korban pengetatan kebijakan di hilir yang buru-buru disiapkan pemerintah dengan alasan mengendalikan konsumsi tembakau. Ada ancaman nyata di depan mata atas jika tidak peka dan hati-hati dalam menyiapkan aturan."
"Peraturan yang disusun pemerintah tidak bisa hanya mementingkan kesehatan, namun mengabaikan aspek lainnya. RPMK malah mendorong kebijakan kemasan polos yang akan membunuh ekosistem tembakau nasional," tegasnya.
Sementara itu, K Muhdi, Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) turut menyampaikan kekecewaannya pada Kemenkes atas Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang tidak adil dan berimbang dalam menerima masukan dari elemen hulu ekosistem pertembakauan.
"Hasil panen tembakau tahun ini sangat baik. Namun, kebijakan pemerintah ini justru membuat petani kecewa dan khawatir hasil produktivitas mereka tidak terserap baik. Akhirnya akan berdampak pada turunnya kesejahteraan petani."
"Petani tembakau tidak diundang untuk hadir dan menyampaikan masukan. Kemenkes tega sekali dengan petani, mentang-mentang kami rakyat kecil lantas diperlakukan tidak adil," tegasnya.
Muhdi menyebutkan, para petani di sentra tembakau seperti Madura, Ngawi, Bojonegoro, hingga Temanggung sedang menyiapkan panen mereka.
"Ketika luasan areal tanam bertambah, minat petani menanam tinggi, pemerintah malah abai. Bukannya mendorong dan mendampingi agar kesejahteraan petani meningkat, malah menekan dengan peraturan yang sangat mendiskriminasi dan mengancam hajat hidup petani," ucapnya.
Baca juga: Masa Panen, Petani Tembakau dan Cengkeh Kompak Tolak Pasal Pengamanan Zat Adiktif di PP Kesehatan
Anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan, pun turut mewanti-wanti implementasi PP No 28 tahun 2024 juga akan berdampak luas.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan dampak besar yang diterima oleh rakyat kecil dari penerapan PP 28/2024.
Ruang lingkup pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429-463 dalam PP 28/2024 dinilai akan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal di tanah air.
"Peraturan tersebut dapat berdampak pada PHK massal hingga merosotnya perekonomian petani tembakau dan UMKM," kata Daniel Johan.
"Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah harus membela rakyat kecil. Selain itu industri juga perlu dilindungi karena kalau pabrik bangkrut akibat regulasi yang dikeluarkan, gelombang PHK akan banyak dan dampaknya pengangguran jadi meningkat," terangnya. (*)