News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

Manipulasi Ketenagakerjaan dan Upah Pekerja Jadi Sorotan Imbas UU Cipta Kerja

Penulis: willy Widianto
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023). Dalam aksinya para buruh berharap agar Hakim MK membatalkan atau mencabut Undang-undang Cipta Kerja serta menyatakan sebagai inkonstitusional, dan tidak berlaku di wilayah hukum Republik Indonesia. Tribunnews/Jeprima

TRIBUNNEWS COM, JAKARTA - Pemerintah menyatakan skema hilirisasi industri tambang mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan membuka banyak lapangan pekerjaan. 

Meski demikian, kasus kecelakaan kerja yang berulang kali terjadi di industri yang bergerak di bidang tambang nikel berbanding terbalik dengan janji kesejahteraan yang ditawarkan pemerintah.

Baca juga: UU Cipta Kerja Mulai Dikeluhkan Pengusaha, Bikin Proses Perizinan Jadi Rumit

Organisasi masyarakat sipil menerima laporan mengenai karut marut perburuhan dari sistem ketenagakerjaan yang inkonsisten.

Mulai dari proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh, instabilitas kontrak kerja, hingga sistem kerja yang memaksa untuk mengambil lembur agar menerima upah layak. Dalam proses perekrutan sebuah perusahaan tambang berperan sebagai penyalur tenaga kerja untuk perusahaan yang beroperasi dalam kawasannya. 

Artinya semua hal yang berkaitan dengan sistem ketenagakerjaan sangat tersentralisasi. Akibatnya, memicu fleksibilitas mutasi buruh atau pemindahan buruh antarperusahaan dan instabilitas kontrak kerja yang berdampak pada kondisi psikososial buruh.

Baca juga: Ciptakan Hubungan Industrial yang Adil, PKS Tetap Tolak UU Cipta Kerja

Catur Widi dari Rasamala Hijau Indonesia mengatakan, buruh mengalami penurunan kondisi psikososial karena harus terus melakukan penyesuaian tempat kerja akibat berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain secara sporadis. Selain itu, tidak terdapat dokumen pemindahan yang komprehensif, perusahaan sekadar menyediakan formulir pemindahan yang harus ditandatangani buruh. 

Mereka sulit menolak pemutasian sebab akan menerima ancaman pemotongan upah atau dipaksa untuk mengundurkan diri. Kondisi kerja semacam itu membuat buruh sulit memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan perusahaan karena tidak mengetahui kondisi kerja yang layak dan ideal. 

"Mereka menerapkan sistem manajemen terpadu. Ini berbeda dengan yang tertuang dalam PP Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri dan PP No.20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri. Izin yang diberikan ke perusahaan kawasan industri adalah Izin Usaha Kawasan Industri yang regulasinya hanya mencakup pengelolaan dan pengembangan kawasan, tapi tidak melakukan pengelolaan ketenagakerjaan untuk perusahaan yang beroperasi di dalamnya," kata Catur Widi dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Sabtu(7/9/2024).

Sebagai perbandingan lanjut Catur Kawasan Jababeka MM2100 hanya mengelola kawasan industri, memberi sewa untuk perusahaan dalam kawasan, dan menyediakan infrastruktur. 

Kebijakan mutasi juga diduga untuk melanggengkan pengupahan rendah sebab meniadakan promosi dan pengupahan berdasarkan masa kerja. Upah pokok di salah satu perusahaan tambang nikel di Morowali mencapai Rp3.000.000-Rp3.620.000. Upah Minimum Kabupaten (UMK) Morowali yaitu Rp3.489.319. 

Untuk menerima upah yang layak buruh harus mengambil lembur di tengah kondisi pekerjaan yang berisiko tinggi. Jika buruh mengambil izin sakit, maka akan menerima pemotongan upah atau pemotongan performa kerja. Jam kerja panjang yang bisa mencapai 12 hingga 24 jam menimbulkan kondisi kerja yang tidak ideal. Apalagi buruh bekerja dengan alat besar di suhu panas dan terpapar bahan kimia, sementara Alat Pelindung Diri (APD) dinilai belum memadai oleh buruh. 

"Situasi itu menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya kecelakaan kerja," kata Catur.

Menurut pemantauan Trend Asia melalui sumber terbuka, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di kawasan tambang nikel di Morowali selama tahun 2015-2022 mencapai 18 insiden, terdapat 15 korban meninggal dunia dan 41 luka-luka. 

Baca juga: Partai Buruh: Kami akan Cari Keadilan di Jalan Jika Gugatan UU Cipta Kerja Tak Dikabulkan MK

Sedangkan kasus kecelakaan kerja di seluruh wilayah industri nikel di Indonesia selama 2015-2023 mencapai 93 insiden dengan 91 korban jiwa dan 158 korban luka-luka. Sayangnya, pemerintah belum memberikan sanksi kepada perusahaan walaupun korban terus berjatuhan di sektor industri nikel. 

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini