"Kesejahteraan yang dijanjikan hilirisasi hanya ilusi. Di Kabupaten Morowali hampir setiap hari terjadi kecelakaan kerja, tetapi tidak menerima sorotan nasional. Ambulans setiap hari berlalu-lalang merujuk korban kecelakaan kerja ke klinik maupun rumah sakit daerah. Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak terprediksi. Namun, kasus kecelakaan yang terus terjadi di tempat itu adalah sistemik. Sebab ada pengabaian atas kondisi hingga fasilitas kerja yang layak. Jika ada femisida dan genosida, ini bisa disebut laborsida atau pembunuhan terhadap buruh secara sistemik," ujar Aziz Dumpa, Direktur LBH Makassar.
Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri menambahkan, kesejahteraan yang dijanjikan oleh hilirisasi tidak bisa dinilai sekadar dari aspek ekonomi semata. Sebab keuntungan hanya diterima oleh perusahaan, sedangkan buruh, masyarakat setempat, dan lingkungan yang menjadi korban.
Diketahui perusahaan tambang nikel di Morowali memproduksi komponen baterai kendaraan listrik, primadona utama pasar otomotif dunia saat ini. Kendaraan listrik juga sedang gencar didorong sebagai salah satu solusi untuk mengentaskan krisis iklim.
Akan tetapi, kendaraan yang disebut bebas emisi itu meninggalkan jejak-jejak kotor di wilayah pertambangan nikel.
"Pemerintah mengatakan jika hilirisasi konsisten dilakukan, maka dalam 10 tahun pendapatan per kapita masyarakat Indonesia bisa mencapai Rp153 juta dan 15 tahun tembus Rp217 juta. Tapi, upah yang diterima oleh buruh tampak tinggi karena disokong oleh berbagai tunjangan. Kenyataannya upah pokok masih rendah. Upah itu juga berbanding jauh dengan harga bahan pokok dan BBM yang mahal di Bahodopi, Morowali," kata Novita Indri.
Pasalnya lanjut Novita Indri, sektor pertanian dan perikanan telah dibabat untuk pembangunan industri dan sekarang harus menerima bahan pokok dari wilayah lain, misalnya dari Sulawesi Selatan, yang akan memakan ongkos lebih banyak lagi.
Diskriminasi dan kekerasan berbasis gender juga terjadi di perusahaan tambang nikel di Morowali. Ada 91.581 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan 11.615 Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di perusahaan-perusahaan dalam kawasannya. Mayoritas pekerjanya adalah laki-laki.
Dalam temuan lapangan, buruh perempuan umumnya bekerja di control room, tetapi diberikan beban kerja ganda sebab mereka juga diminta untuk membantu pekerjaan di ranah produksi. Akan tetapi, ada disparitas upah antara buruh perempuan dan buruh laki-laki.
Sejak dalam proses perekrutan, buruh perempuan sudah mengalami diskriminasi gender. Perekrutan melalui jalur penyalur tenaga kerja atau perusahaan yang menghubungkan calon pekerja dengan perusahaan di kawasan industri melakukan praktik jual beli pekerjaan yang menuntut biaya lebih mahal untuk buruh perempuan dengan alasan sulit mencari posisi pekerjaan untuk perempuan.
Catatan yang lebih kritis ialah nihilnya sanksi yang diberikan perusahaan kepada pelaku kekerasan maupun pelecehan seksual. Perusahaan cenderung mendorong penyelesaian secara "damai" untuk kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di lingkup perusahaan. Perusahaan tidak menyediakan ruang aman dan nyaman untuk buruh perempuan.
Hal ini juga merambah ke hak-hak dasar, seperti sulitnya mengambil cuti haid hingga tidak ada ruang laktasi bagi ibu menyusui. Dari beberapa cerita buruh perempuan, jatah cuti melahirkan ialah tiga bulan.
Namun, anak-anak mereka harus putus ASI, sekitar usia dua bulan atau setelah ibu mereka kembali bekerja sebab perusahaan tidak menyediakan fasilitas yang memadai dan mempermudah kerja perawatan untuk ibu menyusui.
"UU Ketenagakerjaan mengakui hak-hak reproduksi perempuan. Namun di lapangan, kesulitan buruh untuk mengambil cuti haid akibat proses birokrasi yang sangat rumit juga dirasakan oleh banyak buruh perempuan di berbagai industri. Selain itu, ancaman terjadi pelecehan dan kekerasan seksual selalu ada ketika jumlah buruh perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Apalagi jika mereka bekerja shif malam, kerentanan itu semakin nyata. Buruh perempuan sulit melapor. Mereka lebih memilih untuk mengundurkan diri karena menerima ancaman dari atasan dan pelaku. Penyelesaian yang diambil perusahaan juga jalur 'kekeluargaan' agar tidak mencemari nama perusahaan. Ini pola yang terjadi di banyak industri," ujar Emelia Yanti Siahaan, Sekjen Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Baca juga: Sidang UU Cipta Kerja di MK, Ahli Sebut Banyak Ketentuan Aneh Imbas Negara Lebih Dekat ke Pengusaha
Efek Buruk UU Cipta Kerja