TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gaji para pekerja di Indonesia akan kembali dipotong. Pemotongan gaji ini dilakukan untuk program pensiun tambahan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Ini artinya, pegawai swasta akan diminta untuk membayar iuran tambahan selain Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Program ini kini tengah dibahas pemerintah.
Pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait program pensiun wajib pekerja ini yang nantinya akan diturunkan lagi dalam Peraturan OJK (POJK).
Baca juga: Soal Gaji Pekerja Dipotong untuk Program Pensiun Tambahan, OJK: Belum Ada Aturannya
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menyatakan aturan turunan dari UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) ini dirancang untuk meningkatkan replacement ratio pekerja.
Replacement ratio merupakan rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan nilai gaji yang diterima saat masih aktif bekerja.
Menurut Ogi mengerek replacement ratio perlu dilakukan karena selama ini manfaat yang diterima oleh pensiunan di Indonesia relatif kecil, hanya 10 persen sampai 15 persen.
Padahal, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO) menetapkan nilai replacement ratio setidaknya 40 persen dari penghasilan terakhir pekerja.
"Tindak lanjut pasal 189 ayat 4 di mana pemerintah dapat membuat program pensiun tambahan yang bersifat wajib untuk pekerja dengan penghasilan tertentu yang dilaksanakan secara kompetitif," kata Ogi dalam Konferensi Pers RDK Bulanan Agustus 2024 secara virtual, Jumat (6/9/2024).
"Yang diamanatkan dalam undang-undang P2SK ini, itu ketentuannya harus mendapatkan persetujuan dari DPR ya," terangnya.
Saat ini total potensi dana pensiun masih jauh dibandingkan dari total PDB.
Baca juga: Lima Staf BEI Terbukti Langgar Aturan, OJK Minta Pelaku Ditindak Tanpa Pengecualian
Per Juni 2024, total dana pensiun mencapai Rp 1.448,28 triliun, atau naik 7,58 persen year-on-year (yoy) dengan compound annual growth selama 2020-2023 sebesar 9,9 persen.
"Nah kalau dibandingkan dengan persentase terhadap PDB Indonesia 2023 itu ternyata baru 6,73 persen dari PDB kita yang sebesar Rp 20.892,4 triliun, artinya peluang untuk tumbuh masih besar," ujar Ogi.
Sementara itu berdasarkan Pasal 189 ayat 4 UU P2SK, disebutkan bahwa kriteria pekerja yang dikenai dana pensiun wajib adalah yang telah memiliki pendapatan di atas batas tertentu.
Meski begitu, Ogi tak menyebutkan lebih lanjut berapa minimal nominal gaji pekerja yang bakal dikenakan kewajiban membayar iuran dana pensiun tersebut.
"Pekerja yang memiliki penghasilan melebihi nilai tertentu, diminta untuk tambahan iuran pensiun secara sukarela, tambahan tapi wajib, ini akan diatur dalam PP dan POJK yang sedang disusun," terang Ogi.
Ihwal pengelolaan, ungkapnya, dana pensiun wajib pekerja bakal melibatkan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan akan dikelola secara kompetitif.
Namun lagi-lagi, siapa yang akan mengelola dana pensiun wajib itu masih dalam pembahasan dan belum bisa ia sebutkan.
Termasuk berapa besaran upah pekerja yang nantinya bakal dipotong untuk program tersebut, menurut Ogi itu juga belum jelas.
"Isu terkait ketentuan batasan mana yang dikenakan untuk pendapatan berapa yang kena wajib itu, itu belum, belum ada ya, belum ada. Karena PP-nya itu belum diterbitkan," kata Ogi.
Ogi menjelaskan program iuran wajib ini juga berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan (TK) yang sebelumnya telah diikuti pekerja.
"Siapa yang akan menyelenggarakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib, sudah pasti itu bukan di BPJS TK, jadi bisa di DPPK atau di DPLK," sambungnya.
Kapasitas OJK sendiri menurutnya hanya sebagai pengawas kebijakan.
"OJK dalam kapasitas sebagai pengawas untuk melakukan harmonisasi program pensiun yang diamanatkan dalam UU P2SK. Dalam hal ini, kami masih menunggu bentuk PP terkait harmonisasi program pensiun. Kami belum bisa bertindak lebih lanjut sebelum PP diterbitkan," jelasnya.
Selain bakal mewajibkan iuran dana pensiun bagi pekerja dengan kriteria tertentu, pemerintah juga bakal menerapkan kebijakan baru terkait dana pensiun.
Aturan anyar itu adalah ketentuan bahwa mulai Oktober 2024 dana pensiun tidak lagi bisa dicairkan sebelum usia kepesertaan peserta mencapai minimal 10 tahun.
Ogi menjelaskan, kebijakan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga keberlangsungan industri dana pensiun nasional di tengah maraknya pencairan di muka oleh para peserta.
"Untuk PPIP (Program Pensiun Iuran Pasti) yang pensiun, harus mengalihkan 80 persen dari delay manfaatnya itu ke program anuitas, kecuali pendapatan di bawah pertumbuhan bisa diambil secara tunai, dan kita meminta mulai Oktober tidak boleh melakukan surrender atau pencairan anuitas sebelum 10 tahun," ungkapnya.
Produk anuitas adalah salah satu instrumen asuransi jiwa yang memberikan pembayaran secara bulanan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun, janda/duda, anak untuk jangka waktu tertentu atau secara berkala.
Ogi menambahkan, pencairan di muka oleh para peserta sebetulnya menyalahi aturan dan harus dikenakan sanksi bagi peserta tersebut.
"Ini yang membuat statistik dana pensiun dari DPPK itu tidak pernah naik, karena begitu (dana) masuk, keluar dari PPIP masuk anuitas, dan dicairkan hanya kurang dari sebulan, meskipun kena penalti cukup besar," ujarnya.
Terpisah, Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Bobby Gafur Umar, mengungkapkan pihaknya masih memantau perkembangan soal isu tersebut karena masih dibahas pemerintah.
Namun, ia tak menampik wacana ini menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.
"Akan tetapi ini bisa menjadi kontradiktif jika membebani para pekerja, yang mana mengurangi kemampuan daya beli masyarakat yang saat ini sudah semakin rendah," kata Bobby, Sabtu (7/9/2024).
"Secara umum di saat kondisi melemahnya daya beli masyarakat, menurunnya PMI indeks di bawah angka 50, jangan ada pembebanan yang memberatkan ekonomi,” tambahnya.
Sedangkan Head of BSI Institute, Luqyan Tamanni, menilai pemerintah harus memperhatikan waktu kebijakan ini diberlakukan.
Menurutnya, saat ini kondisi ekonomi makro masih ketat dan banyaknya pekerjaan di sektor formal yang hilang.
Sehingga rencana tambahan potongan gaji menjadi hal yang sensitif jika dilakukan sekarang.
"Bagi mereka yang di kelompok rentan, mungkin akan jadi masalah. Karena akan mengurangi take home pay dan disposable income secara cukup signifikan. Namun kelas menengah ke atas, akan sangat tergantung besaran potongannya nanti," katanya.(tribun network/tis/dod)