TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Deka Kurniawan mendorong semua elemen masyarakat tak mengasihani penyandang disabilitas hingga memberikan privilege yang justru membatasi hak mereka.
Hukum internasional saat ini, dikatakan Deka, telah menjadikan paradigma terhadap disabilitas berubah, dari sebelumnya charity base atau berbasis belas kasih menjadi right base, yaitu pemenuhan hak.
Deka menjelaskan paradigma charity membuat penyandang disabilitas seakan-akan sosok tidak berdaya.
“Tidak mampu, sehingga diberikan previlage tapi justru merugikan. Enggak boleh ngapa-ngapain, enggak boleh dikasih kesempatan, karena memandang disabilitas, padahal punya hak yang sama,” kata Deka dalam seminar ‘Kita Inklusi, Kita Berprestasi’ yang diselenggarakan Universitas Trilogi, Jakarta berkolaborasi dengan Jurnalis Kreatif dan lembaga riset IDP-LP di Atrium Universitas Trilogi, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Di hadapan sekitar 800 mahasiswa baru Universitas Trilogi yang mengikuti seminar tersebut, Deka menekankan bila charity base berdasarkan belas kasih dan kemampuan. Ssebaliknya right base mewajibkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam kondisi apapun.
“Kalau charity base itu bisa membantu ya membantu. Sama kayak sedekah, kalau kita punya uang bis sedekah, itu charity base. Tapi kalau right base, kita punya uang, kita gak punya uang, kita mampu atau gak mampu, kita harus memberikan apa yang menjadi haknya," kata dia.
"Harus disediakan apa yang menjadi kebutuhannya. Harus diatasi apa yang menjadi hambatan dan kendalanya,” ungkap pria yang sempat menjadi jurnalis dan aktif sebagai founder Rumah Autis di tahun 2004.
Di lingkungan pendidikan tinggi misalnya kata Deka, sejumlah aspek harus terpenuhi. Poin-poin yang harus dicatat, baik oleh kampus maupun mahasiswa, nomor satu adalah berkaitan dengan regulasi.
Kampus, dikatakan dia, harus membuat kebijakan-kebijakan, termasuk program anggaran yang bisa betul-betul memenuhi hak penyandang disabilitas, termasuk pula penyediaan aksebilitas untuk disabilitas, salah satunya keberadaan toilet khusus disabilitas.
“Kemudian pendidikan inklusif, mulai dari penerimaan mahasiswa disabilitas, bahkan mashasiswa disabilitas itu berhak mendapatkan afirmasi. Mereka berhak mendapat soal berbeda, standar penilaian yang berbeda, itu hak yang harus dipenuhi. Kemudian mereka harus dilibatkan dalam semua aspek pembelajaran di kampus,” pesannya.
Lebih jauh, lulusan magister pendidikan Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) ini menyampaikan, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum internasional dengan meratifikasi UN CRPD (United Nation Convention of Rights for People with Disabilities) dan bahkan telah membuat UU No 8 tahun 2016 tentang disabilitas dan beberapa peraturan turunannya.
Namun dia mengaku kondisi untuk pemenuhan hak disabilitas di Indonesia saat ini masih terbilang jauh dari maksimal.
Atas dasar itulah, dibentuk Komisi Nasional Disabilitas untuk dapat melakukan percepatan sehingga pemenuhan hak disabilitas dapat terwujud dengan baik.
Berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 hak penyandang disabilitas terbagi atas 22 hak penyandang disabilitas, 4 hak spesifik perempuan dengan disabilitas, dan 7 hak spesifik anak dengan disabilitas.