News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Akun Fufufafa

Gibran Terancam Batal Dilantik Jadi Wapres? Ini Sebabnya Menurut Petrus

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terbongkarnya siapa pemilik akun Fufufafa di media sosial Kaskus yang kerap menyerang Prabowo Subianto akan membawa konsekuensi serius.

Jika akun itu benar milik Gibran Rakabuming Raka maka yang bersangkutan terancam batal dilantik menjadi Wakil Presiden RI oleh MPR.

Demikian menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH, Minggu (15/9/2024).

Menurut dia unggahan akun Fufufafa yang menyeret nama Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, dan calon wakil presiden terpilih pada Pemilihan Presiden 2024, kini sudah menjadi bola liar dan berimplikasi memicu lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas, tidak saja terhadap Gibran tetapi juga Presiden Jokowi.

"Akun Fufufafa sudah menjadi viral di medsos karena disebut-sebut milik Gibran. Tetapi dibiarkan menjadi bola liar oleh Polri tanpa ada langkah penindakan dari segi Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dan penegakan hukum agar tidak menimbulkan kegaduhan politik, terutama pada aspek tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE)," kata Petrus Selestinus dalam keterangannya.

Yang membuat akun Fufufafa menjadi viral, kata Petrus, bukan saja karena kepemilikan akunnya dikaitkan dengan Gibran.

Tetapi juga, menurut dia, karena narasinya diduga bermuatan penghinaan, kebencian, berita bohong  yang tidak sehat pada publik.

"Melihat narasi di dalam akun Fufufafa yang sudah ramai diperbincangkan publik, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo seharusnya menjadi orang pertama yang melakukan tindakan kepolisian berupa penyelidikan guna memastikan apakah narasi-narasi di dalam akun Fufufafa itu merupakan tindak pidana ITE," jelas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara. 

Menurut Petrus, jika konten akun Fufufafa bermuatan tindak pidana melanggar Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2016 tentang ITE, maka siapa pun pemilik akun Fufufafa dan sejenis lainnya dan siapa pun operatornya, wajib dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

Sekalipun misalnya bila nanti  akun Fufufafa itu ternyata milik Gibran dan pihak terkait lainnya.

Pembiaran oleh Kapolri

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinilai Petrus selalu bergerak lamban bahkan ragu ketika Netizen berperan aktif dalam upaya membantu Polri dalam menegakkan hukum.

Polri, menurut Petrus, terlambat mengambil inisiatif untuk mengungkap dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh putra/putri Presiden Jokowi dan/atau keluarganya.

"Dalam menyikapi akun Fufufafa yang sudah tidak sehat, nampak ada pembiaran oleh Kapolri, sehingga setiap hari publik menghakimi Gibran dan membenturkan Gibran dengan Prabowo, tanpa ada satu pun institusi penegak hukum memberikan klarifikasi secara bertanggung jawab," katanya.

Pembiaran oleh Kapolri dalam kasus akun Fufufafa, lanjut Petrus, jelas merupakan sikap dan kebijakan yang keliru karena berpotensi memicu lahirnya krisis kepercayaan publik yang semakin meluas terhadap Jokowi dan Gibran menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI oleh MPR pada 20 Oktober mendatang.

Baca juga: Buntut Panjang Polemik Akun Fufufafa hingga Muncul Situs Palsu Gerindra, Pendukung Lapor Polisi

"Padahal Kapolri seharusnya patut dapat menduga bahwa di dalam akun Fufufafa ada muatan yang berpotensi mengganggu Kamtibmas karena ada aspek tindak pidana ITE, sehingga publik menuntut perlakuan yang adil. Sebab itu diperlukan tindakan kepolisian secara dini menjelang pergantian Presiden dan Wakil Presiden. Namun sikap Kapolri justru membiarkan akun Fufufafa dihakimi Netizen tanpa ada penindakan terhadap pemiliknya," ujarnya. 

Padahal, masih kata Petrus, sebagai cawapres terpilih di satu pihak dan jabatan Presiden Jokowi di pihak lain, secara faktual terjadi resistensi yang eskalasinya semakin luas dan bahkan mengarah kepada terjadinya krisis kepercayaan publik yang meluas terhadap pemerintah, sebagaimana akhir-akhir ini mulai muncul tuntutan agar Gibran tidak dilantik sebagai Wapres RI.

MPR Tak Lantik Gibran

Dinamika politik yang berubah dan bergeser begitu cepat, kata Petrus, membuat konstelasi dan konfigurasi politik cepat berubah hanya dalam hitungan jam sesuai kepentingan politik pihak-pihak yang tengah berebut kekuasaan. 

Pada sisi lain, katanya, publik tidak ingin situasi politik yang semakin buruk akibat perilaku Presiden Jokowi dan dinastinya memperburuk citra Indonesia sebagai negara hukum yang tidak berdaya menghadapi pola kekuasaan Presiden Jokowi yang sentralistis serta merusak demokrasi dan konstitusi.

"Karena itu, dengan dukungan bukti-bukti atau fakta-fakta hukum dan fakta-fakta sosial yang sudah 'notoire feiten' (setiap hal yang sudah umum diketahui tidak lagi perlu dibuktikan), publik mulai menuntut agar MPR tidak melantik Gibran sebagai wapres, dan desakan turunkan Jokowi sebelum 20 Oktober 2024 mulai menggema lewat aksi mahasiswa di berbagai daerah beberapa waktu lalu," tukasnya.

"Secara konstitusi MPR adalah pengemban fungsi representasi rakyat, sekaligus pemegang kedaulatan rakyat. Karena itu MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan juga bukan tukang stempel Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam sengketa Pilpres 2024, melainkan memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian akhir terhadap seluruh proses dan tahapan demokratisasi yang sedang berjalan," paparnya.

Mengapa demikian? Menurut Petrus, karena MPR merupakan lembaga tinggi negara, yang oleh UUD 1945, UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Tata Tertib MPR memberikan hak dan kewenangan kepada setiap anggota MPR dan MPR sebagai lembaga tinggi negara untuk memberikan penilai terakhir mengenai apakah capres dan cawapres terpilih pada saat pelantikan masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak.

"Jedah waktu delapan bulan pasca-Pemilu 14 Februari 2024 hingga 20 Oktober 2024, dimaksudkan oleh pembentuk UU sebagai waktu bagi MPR memantau hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan terjadi terhadap capres-cawapres terpilih. Di sinilah MPR bisa menggunakan wewenangnya membatalkan status capres-cawapres hasil Pemilu 2024, karena bisa saja dalam proses pemilu hingga proses sengketa pemilu diputus MK, terjadi pelanggaran hukum tetapi lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), MK dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diantisipasi tentang kemungkinan itu," terangnya.

Baca juga: Roy Suryo: Gara-gara Ulah Fufufafa, Ibu Pertiwi Kembali Hamil Tua

"MPR harus melihat secara jernih dan objektif bahwa hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima. Terdapat fakta yang 'notoire feiten' bahwa ketika MK bersidang, Hakim-hakim Konstitusi berada dalam pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti poitik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan konstitusi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjakankan tugas. Karena itu sangat beralasan hukum bagi MPR untuk mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran, atau setidak-tidaknya mendiskualifikasi dengan tidak melantik Gibran sebagai wapres mendampingi Prabowo Subianto," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini