Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo menyoroti kebijakan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Dirinya meminta kepada seluruh pihak untuk melihat permasalahan ini tidak hanya dari sudut pandang kesehatannya saja, tetapi juga perlu menelisik keseimbangannya.
Menurutnya, tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang sangat digantungkan oleh jutaan orang mulai dari buruh pekerja, petani tembakau, dan peritel beserta keluarganya.
“Kita harus balance dalam membuat kebijakan. Pengendalian itu harus, tapi jangan menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif yang baru,” ujar Rahmad.
Hal tersebut diungkapkan oleh Rahmad dalam diskusi Forum Legislasi “Mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Terkait Industri Tembakau” di Senayan, Jakarta.
Selain itu, Rahmad juga menyoroti banyaknya kebijakan yang telah dirasakan oleh sektor pertembakauan seperti kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) eksesif.
RPMK yang memaksa kemasan rokok polos tanpa merek diyakini kian memperparah kondisi sebelumnya.
“Terkait dengan pihak yang harus dilindungi, saya mengajak semua pihak untuk menyelesaikan dengan duduk bersama. Karena prevalensi perokok itu bisa ditekan, yang penting kan prevalensinya menurun. Ketika banyak penolakan, ini pun banyak yang setuju. Jalan keluarnya adalah titik temu, jadi silakan berembuk dan mencari solusinya bersama,” katanya..
Dari sisi ketenagakerjaan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menekankan bahwa aturan inisiatif Kemenkes ini jelas merugikan berbagai sektor.
Aturan ini, menurutnya,karen cenderung mengabaikan fakta bahwa tembakau masih menjadi sumber penghidupan banyak orang.
Dia menilai, usulan Kemenkes dalam bentuk RPMK ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.
“Ini akan berdampak kepada PHK massal dan akan berdampak ke perekonomian, termasuk UMKM. Ini yang seharusnya diatur sebaik mungkin,” jelasnya.
Daniel menjelaskan selama ini industri tembakau telah menyumbang pendapatan yang besar melalui cukai.
“Aturan ini dianggap terlalu mengekang kebebasan berekspresi dalam konteks ekspresi untuk industri tembakau, padahal toh bisa disesuaikan dan juga ada lembaga sensor yang sudah menjalankan aturannya. Yang perlu kita dorong adalah aturan yang memajukan industri kreatif sebagai medium suatu ekspresi, bukan malah menekannya,” pungkasnya.