Laporan Wartawan Tribunnews.com Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bulan September menjadi bulan paling bersejarah bagi Indonesia. Sebab, ada peristiwa besar di bulan tersebut yakni G30S/PKI.
Tiap tahun pemutaran film G30S/PKI pasti bakal dilakukan dan tayang di beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia.
Penayangan film tersebut kata Ilham Aidit anak Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit harus dihentikan.
Sebab, film karya Sutradara Arifin C Noer itu tidak mendidik dan tidak layak ditonton.
"Film ini juga menyajikan begitu banyak adegan kekerasan yang di dramatisir. Yang oleh banyak ahli pendidikan dianggap sungguh tak layak ditonton khalayak.
Selain tidak mendidik, film ini juga sengaja dibuat untuk menumbuhkan kebencian, tanpa melakukan cover both side (tinjauan dari dua arah)," ujar Ilham kepada Tribun, Senin(23/9/2024).
Baca juga: Link Nonton Film G30S PKI Online Streaming, Kisah Peristiwa Sejarah Kelam 30 September 1965
Menurut Ilham, film Pengkhianatan G 30 S PKI bukan merupakan film dokumenter ataupun film sejarah. Sebab sebagian besar film tersebut bukanlah dari dokumentasi rekaman orisinil.
"Hanya sebagian kecil saja, saat penemuan dan pemakaman jenazah. Selebihnya, sebagian besar adalah rekayasa dan rekaan sang sutradara semata," ujar Ilham.
Karena alur utama kisah film tersebut tidak sesuai dengan fakta sejarah lanjut Ilham. film tersebut lebih merupakan film pesanan orde baru sebagai propaganda kepahlawanan pimpinan rezim saat itu.
"Propaganda sekaligus upaya melegitimasi genosida (pembunuhan massal) yang telah dilakukan rezim orde baru," kata Ilham.
Pria yang lahir di Moskow, Rusia ini juga mengatakan pada film tersebut dengan mengkambinghitamkan PKI, maka rezim Orde Baru seperti meminta legitimasi masyarakat bahwa ada dalih untuk melakukan pembunuhan massal, pemenjaraan dan penjarahan ratusan ribu nyawa yang menjadi korban dari pihak orang-orang kiri, bahkan para pendukung Soekarno juga menjadi korban.
"Maka, jelas sekali bahwa film tersebut bukanlah film dokumenter juga bukan film sejarah tapi adalah sebuah film fiksi semata. Film fiksi bernuansa kuat sebagai film propaganda," ujar Ilham.
Pria lulusan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung ini juga menjelaskan sudah ada begitu banyak analisa-analisa baru, literasi-literasi baru, juga disertasi-disertasi yang terbit seputar peristiwa itu yang diketahui dan dibaca masyarakat luas yang sangat berbeda dengan apa yang diceritakan pada film fiksi tersebut.
"Maka bisa dibilang bahwa upaya memutar ulang film tersebut adalah upaya membodohi masyarakat luas. Di era Presiden Gus Dur Menteri Penerangan saat itu, Letjen Yunus Yosfiah pernah menghentikan pemutaran film ini. Karena dianggap tidak sesuai fakta, tidak mendidik karena terlalu banyak adegan kekerasan, dan terlihat sangat tendensius sebagai film propaganda. Sungguh memprihatinkan, bila sekarang masih juga tetap diputar," kata Ilham.