Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Merujuk sejumlah data yang ada, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi protein hewani rendah.
Data IMF dan organisasi ekonomi dan pembangunan (OECD) menyebutkan, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia lebih rendah dibanding negara-negara di ASEAN lainnya.
Kegemaran orang Indonesia makan ayam dan telur ayam tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina.
Padahal manfaat protein hewani sudah terbukti sangat baik bagi tumbuh kembang seseorang mulai dari bayi hingga dewasa.
Baca juga: Perbedaan Kandungan Gizi Susu Ikan Vs Susu Sapi, Lengkapi Menu Program Makan Siang Gratis
Di pemerintahan mendatang, program penyediaan makan siang gratis dan bergizi dilaksanakan dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 2: Zero Hunger, serta mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Nantinya program Prabowo-Gibran ini akan menyasar siswa, santri, balita, ibu hamil dan menyusui.
Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR) I Dewa Made Agung, mengungkapkan, pelibatan multisektor termasuk swasta menjadi penting dalam menjalankan program tersebut selain edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, serta pengelolaan food waste.
“Program ini perlu melibatkan banyak pihak swasta, akademisi, UMKM, koperasi, BUMN agar berkontribusi terutama perusahaan lokal. Saatnya program ini jadi platfrom untuk pengembangan dan pertumbuhan perusahaan lokal,” urai dia dalam kegiatan di Jakarta, baru-baru ini.
Berangkat dari hal ini penelitian untuk mengukur kecukupan gizi anak-anak Indonesia digagas oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA), Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia (PKGK UI).
Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya.
“Studi percontohan ini dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah,” sebut Dewa Made Agung.
Penelitian di 5 Kota
Sebanyak 1.143 anak sekolah dasar, taman kanak-kanak dan balita mendapatkan makanan bergizi pada Mei-Juni lalu, yakni di Padang, Sragen, Mempawah, Malang dan Makassar.
Pelaksanaan kegiatan berlangsung selama 6 minggu berturut-turut, di mana setiap wilayah diuji coba selama 10 hari untuk setiap model pemberian makanan, yang kemudian diukur dan dievaluasi angka kecukupan gizi dan efektivitas pelaksanaannya.
Ahli gizi kesehatan masyarakat PKGK (pangan olahan untuk gizi khusus) UI Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH mengatakan, dalam program itu, menu disusun berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 tahun 2019 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia.
Misalkan menu pertama adalah nasi, ayam goreng, semur tahu, sayur bayam dan jagung.
Menu kedua: pisang dan susu, nasi, ayam bumbu kecap, perkedel kentang, pepes tahu, tumis labu siam wortel, pisang dan susu.
Menu ketiga: nasi, semur telur, tahu goreng, tumis labu siam wortel dan bakso, semangka dan susu.
Menu keempat: nasi, ayam goreng, tempe goreng, sayur bayam dan jagung, buah pepaya dan sus.
Menu kelima: nasi, ayam goreng bumbu, tahu goreng, sayur bayam dan jagung, perkedel kentang, buah pepaya dan susu.
Menu keenam: nasi, telur dadar, tahu bumbu kecap, sayur bayam dan jagung, buah semangka dan susu.
“Teori perubahan digunakan dalam penelitian ini karena menjelaskan bagaimana dan mengapa program ini diharapkan dapat mencapai tujuannya. Teori perubahan ini mencakup asumsi-asumsi dasar, input, output, outcome dan dampak yang diharapkan serta indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan,” ujar dia.
Hasilnya, jumlah anak dengan status gizi buruk atau kurang, berkurang 2,8 persen pasca program.
Program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa.
Sebelum program berjalan asupan protein hewani siswa tergolong rendah seperti konsumsi ayam 50 persen, ikan 48 persen dan daging merah 2 persen.
Sebaliknya konsumsi susu 70 persen, telur 67 persen dan protein nabati 69 persen relatif lebih tinggi dan dilakukan beberapa kali setiap hari karena ketersediaan harga yang lebih murah.
Prof Fika menjelaskan dalam studi ini menguji 3 model pemberian makan bergizi, yakni Ready to Eat (RTE), Ready to Cook (RTC) dan Swakelola.
Tujuannya adalah untuk menganilisis efektivitas setiap model sekaligus memantau proses produksi, pemenuhan kebutuhan gizi, hingga distribusinya.
Ready to eat menunjuk salah satu catering ke kanan untuk memproduksi makanan yang didistribusikan kepada siswa di sekolah.
Ready to cook (RTC) sekolah mengelola produksi makanan untuk diberikan kepada anak-anak bahan baku protein disediakan Jafpa.
Swakelola adalah dana yang disediakan dikelola oleh sekolah dan sekolah membentuk tim untuk memproduksi bahan makanan.
“Model swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi diantara siswa dengan persentase 84 persen, diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83 persen,” kata dia.
Bisakah Terpenuhi dengan Rp.15.000?
Saat disinggung soal anggaran yang terlampau besar untuk program ini, ia menilai, apa yang akan dikeluarkan pemerintah adalah investasi untuk generasi mendatang.
"Jadi bukan sekadar pengeluaran besar semata saja. Ini harus dilihat investasi jangka panjangnya. Investasi ini punya dampak luar biasa bagi generasi mendatang," ungkap dia.
Dewa Made Agung memaparkan, dalam penelitian rata-rata keseluruhan menu makanan bergizi dan sehat (kecuali susu) yang meliputi memasak, distribusi ke sekolah hingga penyucian tray komparasi antar model adalah sebagai berikut ready to eat Rp18.372, ready to cook Rp12.719 dan swakelola Rp13.145.
“Ini merupakan biaya pembuatan per standar porsi tanpa susu,”sebut Dewa Made Agung.
Pihaknya uga menyarankan, model ready to cook dan swakelola bisa diterapkan dalam program makan bergizi ini.
Berdasarkan hasil analisa biaya ditemukan bahwa RTC menjadi model dengan biaya produksi yang paling rendah diantara ketiga model.
Hal ini dikarenakan model RTC tidak berorientasi profit walaupun tetap mengupah pekerjaan dan langsung menerima protein hewani dari produsen.
“Perlu juga memastikan bahwa produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimal. Seperti daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV,” ujar Dewa.
Direktur Corporate Affairs, Rachmat Indrajaya berharap hasil studi ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
"Kami mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi lebih lanjut dalam penyediaan protein hewani guna meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia,” harap Rachmat.
Program makan bergizi gratis diharapkan bisa meningkatkan daya konsentrasi belajar, perilaku anak menjadi lebih baik, saat anak sekolah yang diberi asupan bergizi dan sehat.