News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Kesaktian Pancasila TII Soroti Kasus Intoleransi dan Kebebasan Beragama

Penulis: willy Widianto
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara menjadi panduan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara menjadi panduan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Namun, implementasi nilai-nilai Pancasila saat ini dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah persoalan intoleransi kehidupan beragama.


Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono mengatakan persoalan intoleransi kehidupan beragama terlihat dengan maraknya kasus-kasus pendirian rumah ibadah. Misalnya, kasus rencana penutupan vihara di Cengkareng dan penolakan izin pendirian Gereja Kanaan Jawa (GKJ) di Tangerang Selatan. 

Baca juga: Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Bamsoet Ingatkan Penguatan Nilai-Nilai Pancasila


Bahkan, penolakan juga terjadi untuk pendirian sekolah seperti yang terjadi pada pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare.


“Melihat kasus-kasus di atas, nampaknya persoalan intoleransi masih menjadi ancaman kebebasan beragama dan beribadah yang terus berkelindan di negeri ini. Masih maraknya persoalan intoleransi disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama, persoalan regulasi yang bermuatan intoleransi dan bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Arfianto dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu(2/10/2024).


Arfianto mengatakan regulasi yang bermuatan intoleransi dan cenderung menjadi rujukan berpolemik dalam konflik terkait masalah ini salah satunya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM 2006). 


“Faktanya, PBM 2006 seringkali menjadi pegangan bagi kelompok intoleran untuk menghalangi pendirian rumah ibadat kelompok minoritas di negeri ini maupun pihak yang dianggap berbeda. Sudah semestinya PBM 2006 dievaluasi guna menghilangkan intoleransi, khususnya dalam pendirian rumah ibadah. Selain itu, masih terdapat permasalahan dalam implementasi PBM 2006 yang diselenggarakan oleh  pemerintah daerah,” kata Arfianto.


“Selanjutnya, faktor kedua adalah lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan intoleransi masih ada di negeri ini. Pembiaran terhadap kelompok intoleran menjadi wujud lemahnya penegakan hukum dalam perlawanan terhadap intoleransi di negeri ini,” tambah Arfianto.


Arfianto mengatakan dengan melihat persoalan di atas, maka sudah saatnya kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dan ditegakkan. Jaminan terhadap toleransi dan kebebasan beragama, serta berkeyakinan bukan lagi sekedar retorika maupun seremonial belaka. 

Baca juga: 580 Anggota DPR RI Periode 2024-2029 Dilantik Tepat di Hari Kesaktian Pancasila


Negara dan segenap perangkatnya harus dapat memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan kepada semua agama dan kepercayaan, serta para penganutnya sesuai amanah konstitusi. Selain itu, kesadaran individu akan toleransi, keberagaman, dan perdamaian juga harus ditingkatkan.


“Oleh sebab itu, menyikapi persoalan di atas, The Indonesian Institute mendorong beberapa rekomendasi kebijakan, yaitu: pertama, mendorong penafsiran dan pelaksanaan PBM yang berbasis pemenuhan perlindungan hak atas kebebasan dan berkeyakinan. Kedua, merevisi persyaratan izin pendirian rumah ibadat yang diskriminatif dan multitafsir. Ketiga, membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang komprehensif dengan hasil yang mengikat,” papar Arfianto.


Keempat, meningkatkan perspektif HAM bagi aparat kepolisian dan TNI. Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberagaman dan toleransi. Keenam, mengoptimalkan kinerja FKUB dengan dukungan sumber daya memadai. Kemudian ketujuh, melakukan kolaborasi multi pihak untuk mendukung pemenuhan perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.


“Diharapkan rekomendasi kebijakan ini dapat menjadi masukan bagi pemangku kebijakan untuk mendorong penataan pengaturan pendirian rumah ibadat yang berbasis pemenuhan dan penjaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan semangat toleransi dan menghargai kebinekaan.” kata Arfianto.


 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini