Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan bahwa kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini.
Nadia juga menyatakan tidak ada standardisasi terkait nama atau penulisan merek rokok.
“Kalau nama merek rokok itu tidak kita lakukan standardisasi. Bahasa Indonesia hanya untuk peringatan, lalu informasi. Untuk nama merek sesuai dengan mereknya,” papar dia.
Namun pernyataan ini berbanding terbalik dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) poin e yang menjelaskan, bahwa penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan pada poin f dinyatakan penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia dengan font Arial.
Adapun Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi mengingatkan kepada pemerintah agar mendengar kritik dari kalangan masyarakat. Apalagi, kritik ini semakin mengemuka karena sebelum PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada koordinasi yang baik dengan beberapa kementerian terkait.
“Kemenperin saja belum diajak bicara mengenai kebijakan ini. Ini menunjukkan kurangnya kolaborasi antara kementerian yang seharusnya terlibat dalam pembuatan kebijakan yang kompleks ini,” kata Benny.
Benny mengatakan, meski mereka sepakat dengan tujuan meningkatkan kesehatan masyarakat, namun pendekatan yang diambil oleh Kemenkes tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja. Benny pun menyarankan proses penyusunan Rancangan Permenkes disetop hingga ada pejabat menteri yang baru.