Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda persidangan selama satu pekan menyusul adanya aksi cuti massal yang dilakukan ribuan hakim se-Indonesia.
Adapun hal itu diungkapkan Pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Djuyamto ketika dikonfirmasi perihal kegiatan penundaan persidangan yang dilakukan pihaknya.
"Untuk PN Jaksel sidang-sidang ditunda seminggu," kata Djuyamto saat dikonfirmasi, Senin (7/10/2024).
Meski begitu, kata Djuyamto tidak semua sidang akan dilakukan penundaan.
Sidang seperti gugatan praperadilan dan sidang untuk terdakwa yang masa penahannnya akan selesai akan tetap digelar pihaknya.
"Kecuali sidang praperadilan dan sidang-sidang yang masa penahanannya akan habis akan tetap disidangkan," jelasnya.
Baca juga: Hakim Eko Aryanto Tunda Sidang Korupsi Timah: Mohon Dukungannya, Teman-teman Kami Sedang Berjuang
Sementara itu terkait adanya aksi cuti massal yang dilakukan ribuan hakim pada hari ini, Djuyamto memastikan akan tetap mendukung pergerakan tersebut.
"Oh tentu mendukung," ucapnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menunda beberapa sidang pada pekan ini.
Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Zulkifli Atjo mengatakan pihaknya mendukung aksi cuti massal yang saat ini dilakukan ribuan hakim.
Adapun bentuk dukungan itu salah satunya dalam bentuk penundaan beberapa sidang yang digelar di PN Jakarta Pusat.
"Mendukung itu dalam artian ya bisa kita menunda persidangan, bisa kita dengan finansial, dengan doa gitu. Tapi yang jelas kami mendukung seperti itu," kata Atjo kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca juga: Pimpinan DPR Minta Hakim Tak Mogok Kerja: Tunjukkan Kenegarawanan
Di sisi lain, Atjo menuturkan tidak semua sidang akan dilakukan penundaan khususnya kegiatan sidang yang sudah terjadwal sebelumnya.
"Apalagi perkara di (PN) Jakarta Pusat ini banyak perkara-perkara khusus yang mempunyai waktu untuk diselesaikannya niaga, LK, kemudian praperadilan, kemudian tahanan yang mau habis (masa penahanannya) tentu harus disidang," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bintang AL menjelaskan penundaan sidang akan dilakukan apabila perkara-perkara yang tengah ditangani masih bisa ditolerir untuk ditunda.
Salah satunya perkara yang masih berjalan cukup lama sehingga pihaknya bisa menunda sidang tersebut.
"Jika misalnya perkara itu masih kira-kira panjang waktunya, penahanannya masih lama, ada beberapa perkara juga yang tunda persidangannya, sebagai bentuk aksi kami," kata dia.
"Jadi kami juga mendukung apa yang dilakukan oleh teman-teman dengan menunda persidangan yang kategorinya tidak seperti yang kami sampaikan," sambungnya.
Meski begitu Bintang menjelaskan, untuk hari ini masih terdapat kegiatan sidang yang berjalan seperti biasanya lantaran sidang telah dijadwalkan sebelumnya, seperti sidang kasus timah.
Akan tetapi nantinya ketika sidang berlangsung, Ketua Majelis Hakim yang memimpin sidang tersebut bisa menentukan apakah akan menunda sidang atau tidak.
"Jadi yang dijadwalkan hari ini itu tidak ditunda, tetap kita sidang hari ini, termasuk Tipikor kan timah hari ini sidang. Tapi nanti kemungkinan majelisnya bersikap membatasi saksi dulu sementara sebagai bentuk solidaritas itu mungkin bisa dilakukan oleh Ketua majelisnya," ucapnya.
Sebagai informasi, ribuan hakim se-Indonesia melakukan mogok kerja massal dengan melakukan cuti bersama mulai 7 hingga 11 Oktober 2024 atau selama lima hari.
Tindakan tersebut sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang tidak kunjung menaikkan gaji dan tunjangan hakim 12 tahun terakhir.
Lantas, berapa gaji dan tunjangan hakim yang selama ini diterima para hakim.
Adapun aturan mengenai upah hakim itu diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2012.
Dalam aturan itu, gaji yang diterima para hakim di Indonesia beragam tergantung jenjang karier dan masa jabatan.
Hakim Golongan III A dengan masa jabatan 0 tahun mendapatkan gaji paling rendah, yaitu Rp 2.064.100 per bulan.
Sementara itu, paling besar hakim Golongan III dengan gaji mencapai Rp 4 juta dengan catatan masa pengabdian selama 30 tahun.
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid mengatakan 1.326 hakim akan ikut aksi mogok massal.
Angka tersebut sesuai dengan data yang terkumpul hingga 27 September 2024 pukul 22.00 WIB.
"1.326 hakim telah bergabung dalam gerakan ini. Lebih dari 70 persen di antaranya menyatakan akan hadir langsung di Jakarta dengan biaya pribadi sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang dinilai lambat dalam menanggapi tuntutan hakim," kata Fauzan Arrasyid dalam pernyataannya, Sabtu (28/9).
Fauzan menyebut ada empat isu krusial perjuangan Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia.
Pertama mengenai pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2018 terhadap PP 94 Tahun 2012.
Sebuah langkah yang selama ini diabaikan oleh pemerintah, padahal memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan hakim.
Selanjutnya mengenai pengesahan RUU Jabatan hakim yang dianggap menjadi sebuah undang-undang yang akan menjamin kemandirian dan martabat hakim sebagai pilar utama peradilan.
Ketiga, Peraturan Perlindungan Jaminan Keamanan bagi hakim. Hakim yang menjalankan tugas negara berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan agar dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut atau ancaman.
Keempat, pengesahan RUU Contempt of Court. Sebuah upaya untuk menjaga kewibawaan peradilan dan memberikan perlindungan terhadap proses peradilan dari segala bentuk intervensi dan penghinaan.
Aksi cuti bersama ini lanjutnya juga bukanlah pilihan yang diambil dengan tergesa-gesa.
Sejak 2019, para hakim melalui organisasi profesinya, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah berjuang dengan sabar dan gigih untuk mendorong perubahan terhadap PP 94 Tahun 2012.
Berbagai upaya resmi dan formal telah ditempuh dengan harapan agar pemerintah memberikan perhatian yang serius dan langkah nyata terhadap tuntutan tersebut.
Kata Fauzan, aksi cuti bersama pada tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024 adalah sebuah langkah terakhir atau ultimum remedium yang diambil dengan tekad bulat dan keberanian tinggi oleh para hakim di seluruh penjuru negeri.
"Hingga hari ini, perjuangan itu belum mendapatkan tanggapan yang sepadan dari pemerintah. Oleh karena itu, dengan berat hati namun penuh keyakinan, aksi cuti bersama ini menjadi pilihan terakhir demi memperjuangkan martabat dan kesejahteraan hakim di Indonesia," ujar Fauzan.