Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM - Isu kesehatan mental dan perundungan (bullying) sedang menjadi sorotan dalam dunia pendidikan kedokteran.
Padahal pendidikan dokter sebagai kawah candradimuka harus mampu melahirkan dokter yang adaptif, profesional, berintegritas, berakhlak mulia serta mampu menjadi pemimpin perubahan.
Baca juga: Founder ESQ Berikan Training Gratis Untuk Dharma Wanita Kemenko Perekonomian
Untuk itu, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) berkolaborasi dengan ESQ menghadirkan era baru pendidikan dokter dengan penguatan IQ, EQ dan SQ yang ditandai dengan penandatanganan MoU yang teken oleh Founder ESQ Group Ary Ginanjar Agustian dan Dekan FK Unair Budi Santoso.
Budi mengatakan bahwa FK Unair menarget zero kasus bullying dan depresi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Ia menyebut, fenomena itu terjadi di hampir semua jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
“Dalam upaya zero bullying, depresi, stress kita mencoba pendekatan preventif sebelum kejadian,” ujar Budi dalam konferensi pers di Opening Ceremony Dies Natalis Unair ke-70 dan peringatan 111 pendidikan dokter, Sabtu (5/10/2024).
Baca juga: Anggota Komisi III DPR: Jangan Menyeret Orang Tak Bersalah di Dugaan Bullying SMA Binus
Dalam upayanya, dengan membentuk alur penanganan bullying juga konsultasi tanda awal depresi. “Kita FK Unair dan RSUD Dr. Soetomo sudah buat alur penanganan bullying, depresi, juga kita buat unit konsultasi masalah stres, depresi,” imbuhnya.
Misalnya, lanjut Budi, stres karena salah jurusan akan dilakukan pendekatan hingga difasilitasi pindah jurusan sesuai keinginan.
Soal tingkat depresi di PPDS FK Unair, ia menyebut masih dalam batas wajar dan terkendali.
Pencegahan dini juga dilakukan dengan menggandeng ESQ untuk menangani masalah kesehatan mental mahasiswa hingga pengajar selain tata cara baku yang fakultas punya.
“Seperti disampaikan tadi, tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan mengelola emosi dan spiritual. Selain peserta didik, dosen pengajar, juga staf (akan) dibekali,” paparnya.
Sementara itu, melansir dari beragam informasi media massa dan interview, Ary Ginanjar menyatakan bahwa isu kesehatan mental telah ia prediksi akan menjadi masalah besar sejak 25 tahun yang lalu.
Menurutnya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjalankan profesi apapun tanpa didukung kecerdasan emosional dan spiritual.
“Seperempat abad kemudian (sekarang) menggema di mana-mana (isu mental health). Ini membuktikan kecerdasan intelektual tidak cukup menjalankan profesi apapun,” ujar Ary.
Baca juga: KPAI Tentang Dugaan Bullying di Binus: Utamakan Kepentingan Semua Anak, Bukan Keviralan Kasus Saja