Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Dirut PT Timah Riza Pahlevi mengatakan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama Harvey Moeis jadi pihak yang pertama tawarkan diri menjadi smelter yang bekerjasama dengan PT Timah.
Hal itu disampaikan Riza Pahlevi pada sidang perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (7/10/2024).
Baca juga: Saksi Ungkap Eks Direktur Operasional PT Timah Bertemu Sejumlah Bos Smelter, Termasuk Harvey Moeis
Ia bersaksi untuk terdakwa Kepala dinas (Kadis) ESDM Provinsi Bangka Belitung, Amir Syahbana, Suranto Wibowo dan Plt Kepala Dinas ESDM Babel Rusbani.
"Smelter swasta lain tidak bisa kerja kenapa produksi PT Timah bisa meningkat. Bagaimana caranya," tanya jaksa di persidangan.
Riza lalu menerangkan produksi bijih timah PT Timah bisa meningkat berkat penambangan masyarakat.
"Mungkin karena semester swasta tidak bisa beroperasi masyarakat yang tadinya menjual ke smelter swasta menjual ke PT Timah. Sehingga saksi menghadapi keadaan over supply begitu. Kemudian solusinya melakukan kerja sama sewa smelter," kata jaksa.
Jaksa lalu menanyakan dari program sewa smelter tersebut bagaimana pelaksanaannya.
"Ada beberapa pertemuan, pertama kami mendapatkan surat penawaran dari RBT," jawab Riza.
Berarti pertemuan pertama dengan RBT, kata Jaksa dilanjutkan dengan menanyakan di mana pertemuan tersebut.
Baca juga: Agar Kasus Timah Tak Terulang, BPIP Bakal Serahkan Rekomendasi Pengelolaan SDA ke Prabowo
"Di hotel Sofia saya dengan Pak Harvey Moeis hanya ngomong-ngomong biasa saja. Kemudian pertemuan selanjutnya. Mengajak Pak Alwin karena saya minta mengkaji lebih detail terkait kerja sama tersebut," terangnya.
Adapun dalam perkara kasus korupsi timah ini, perusahaan pemilik smelter dinilai mengakomodir penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah di Bangka Belitung.
Hasil penambangan yang dibeli dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah kemudian dijual oleh perusahaan pemilik smelter ke PT Timah seolah-olah ada kerja sama sewa menyewa alat peleburan.
Adapun harga yang ditetapkan penyewaan alat tersebut, terdapat kemahalan atau lebih tinggi dari pasaran, yakni USD 3.700 per ton.
Menurut jaksa, penetapan harga itu dilakukan tanpa studi kelayakan yang memadai.