Jumlah kasus ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan KPK yang menangani 36 kasus dan Kepolisian yang menangani 138 kasus.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga berhasil menyita aset yang mencengangkan, termasuk uang tunai, properti di luar negeri, serta kendaraan mewah.
Aset-set tersebut meliputi uang sebesar Rp 21.141.185.272.031,90, dalam bentuk dolar AS sebesar 11.400.813,57 serta dalam dolar Singapura sebesar 646,04.
Selain itu Kejaksaan juga melakukan penyitaan terhadap properti di luar negeri, termasuk di Singapura dan Australia.
Meskipun Single Prosecution System dirancang untuk menghindari fragmentasi dalam penegakan hukum, menurut Fachrizal, tantangan dalam koordinasi antara lembaga penegak hukum tetap ada.
“Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa berbagai lembaga penegak hukum, seperti KPK, Kepolisian, dan TNI, dapat bekerja sama secara harmonis dengan Kejaksaan. Namun, kebijakan ini telah dilengkapi dengan mekanisme yang memungkinkan Jaksa Agung untuk mengatasi perbedaan pendapat atau hambatan yang muncul di lapangan,” kata Fachrizal.
Dia menjelaskan bahwa Pasal 35 huruf j Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, menegaskan bahwa seluruh penuntutan dalam kasus tindak pidana koneksitas harus tetap dipertanggungjawabkan kepada Jaksa Agung.
Baca juga: Berani Bongkar Kasus Korupsi Kakap, Jaksa Agung ST Burhanuddin Dinilai Layak Diperpanjang
“Ini berarti bahwa bahkan dalam kasus yang melibatkan berbagai lembaga penegak hukum, Kejaksaan tetap memiliki otoritas tertinggi dalam mengendalikan jalannya proses penuntutan,” ujarnya.