TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis sekaligus pegiat anti korupsi, Bambang Harymurti mendorong akademisi anti korupsi yang sudah melakukan eksaminasi perkara Mardani Maming melakukan upaya hukum secara maksimal.
Diketahui Mardani Maming merupakan terpidana kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan dan Operasi Produksi (IUPOP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimatan Selatan.
Bambang meminta semua akademisi bidang hukum supaya ramai-ramai mengirimkan surat amicus curiae ke Mahkamah Agung.
"Pendapat para ahli hukum dan hasil eksaminasi atas putusan perkara Mardani yang menyatakan terhadap terdakwa harusnya dinyatakan bebas alias lepas dari segala tuntutan hukum mesti diketahui dan didengar MA yang berwenang memutus perkara pada peninjauan kembali (PK) supaya mempunyai dampak hukum," katanya, Rabu (16/10/2024).
Bambang meminta semua pihak berani menyatakan sikap dengan mengirimkan pesan ke MA. Pasalnya, asas hukum di Indonesia ialah praduga tak bersalah dan beban pembuktian ada di pihak penuntut umum.
“Harusnya para ahli hukum dan eksaminator putusan berani menyusun dan mengirimkan pendapatnya sebagai ahli atau sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada Mahkamah Agung. Jangan lupa pribahasa hukum yang kerap dikutip, yang menyatakan lebih baik membebaskan 10 bahkan 100 orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak (terbukti) bersalah," katanya.
Mardani H Maming dijatuhi hukuman penjara dan denda atas dugaan menerima gratifikasi sebesar Rp 118 miliar dari almarhum Henry Soetio, mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara.
Padahal, bukti-bukti persidangan, menurut hasil eksaminasi para pakar hukum UII, telah membantah semua tuduhan tersebut. Apalagi ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan “kesepakatan diam-diam".
Desakan untuk membebaskan Mardani H Maming dari jeratan hukum banyak disuarakan aktivis dan pakar hukum, seperti yang disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso, menyatakan pentingnya eksaminasi kritis dari para ahli hukum terhadap putusan pengadilan.
"Kekeliruan dalam putusan hakim selalu mungkin terjadi, dan eksaminasi kritis ini penting sebagai pembelajaran bagi para penegak hukum," kata Prof Topo.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro, yang juga Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, menyampaikan telaah hukumnya terkait kasus yang menimpa Mardani H Maming.
“Keputusan terdakwa terkait pemindahan IUP sah dan tidak pernah dinyatakan tidak sah atau batal oleh pengadilan yang berwenang menilai perbuatan administrasi yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara,” katanya.
“Keputusan terdakwa masih sah dan berlaku, maka tidak ada pelanggaran administrasi. Tidak terdapat pula titik taut dengan perbuatan pidana, karena itu terhadap terdakwa tidak dapat dipidana, sehingga terdapat cukup alasan untuk menyatakan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan pengadilan yang memidana terdakwa,” ujar Yos.
Pendapat itu diamini Profesor Romli Atmasasmita, Guru Besar Fakultas Hukum Unpad yang mengemukakan ada delapan kekhilafan hakim yang menyidangkan perkara Mardani H Maming.
Kekeliruan yang dimaksud Prof Romli adalah proses penuntutan kasus ini yang dia nilai seperti dipaksakan dengan penerapan pasal yang kurang tepat.
"Jadi, pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan Kasasi perkara Nomor 3741/2023 atas nama Mardani Maming tidak dijalankan. Putusan tersebut sudah memenuhi alasan adanya novum serta kekhilafan atau kekeliruan nyata dari hakim," ucapnya.(*)
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Aktivis Anti Korupsi Desak Akademisi Kirimkan Surat Amicus Curiae ke MA terkait Mardani Maming