Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pertahanannya, khususnya kemampuan TNI Angkatan Laut demi mengatisipasi tantangan yang berkembang di Laut China Selatan.
China kini semakin terlihat asertif China di Laut China Selatan (LCS) dan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia terutama di perairan dekat Kepulauan Natuna.
Karenanya, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan pertahanannya seiring dengan peningkatan kemampuan diplomasi untuk mencari solusi demi menjamin stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Demikian pandangan yang mengemuka di acara seminar “Kerentanan Natuna dalam Kompleksitas Ancaman di Laut China Selatan dalam Hubungan Strategis Indonesia – China,” yang diselenggarakan Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UnHan RI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta 21 Oktober 2024.
Seminar menghadirkan mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI (Purn) Marsetyo sebagai pembicara utama, serta staf pengajar senior Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo, Ph.D, dan Ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D.
Baca juga: Mimpi Jadi Nyata, Fans Rela Kayuh Sepeda 13.000 KM dari China ke Saudi untuk Bertemu Ronaldo
Seminar dihadiri Wakil Dekan bidang Keuangan dan Umum FKN, Brigadir Jenderal TNI Ir. Kristijarso, S.I.P., M.M, kepala Program Studi Magister Keamanan Maritim, Kolonel Laut (KH) Dr. Panji Suwarno, S.E., M.Si., CIQnR, serta sejumlah perwira tinggi dan menengah TNI. Seminar dipandu oleh Ristian Atriandi Supriyanto, M. Sc, pengajar jurusan Hubungan Internasional UI dan peneliti mitra FSI.
Dalam pidato pembukaan yang disampaikan Brigjen TNI Kristijarso, dekan FKN, Mayor Jenderal TNI Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han) menyatakan bahwa Indonesia perlu mengidentifikasi berbagai bentuk ancaman yang dihadapi. Menurutnya, ancaman tersebut hadir baik dalam aspek meliter maupun non militer.
“Dari segi militer, peningkatan kehadiran militer China di kawasan Asia Tenggara menjadi tantangan langsung bagi kedaulatan Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya. latihan militer yang dilakukan secara berkala, yang disertai dengan pengiriman armada dari luar kawasan, berpotensi pula menambah ketegangan di kawasan ini.
Mayjen Widodo berpendapat, tantangan di atas perlu dihadapi dengan langkah langkah strategis, antara lain dengan meningkatkan kapasitas pertahanan Indonesia, khususnya TNI AL, melalui modernisasai alat utama sistem senjata (alusista) dan pelatihan yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kehadiran armada RI di wilayah Natuna.
Langkah-langkah lain yang perlu diambil adalah mempererat kerja sama dengan negara-negara tetangga, serta menjalankan diplomasi proaktif dengan China dan negara lain di kawasan ini.
Laksamana TNI (Purn) Marsetyo membuka pemaparannya dengan menyampaikan kembali perintah Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, agar Indonesia menjadi negara yang kuat, yang bukan hanya melindungi kedaulatan Indonesia, tetapi juga melindungi mineral dan kekayaan alam Indonesia.
Dia mengatakan, Presiden Prabowo menginginkan agar Indonesia tetap berpegang teguh pada politik bebas dan aktif. “Pak Prabowo memandang semua negara sebagai sahabat asalkan (negara itu) jangan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia,” tuturnya.
Terkait meningkatnya sikap agresif China di LCS, ketua Dewan Guru Besar UnHan RI itu menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan yang muncul adalah ketidaktaatan China pada UNCLOS meskipun negara itu meratifikasi hukum laut internasional itu.
“UNCLOS 1982 merupakan pegangan bagi negara-negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara), tetapi tidak menjadi pegangan bagi China,” papar Profesor Marsetyo.
Menurut Prof Marsetyo, situasi di LCS makin mengemuka setelah pemerintahan China pada tahun 2023 memperluas garis putus-putus berbentuk U yang sebelumnya dikenal dengan istilah sembilan garis putus-putus menjadi sepuluh garis putus-putus.
Menurut Profesor Marsetyo, berbekal sepuluh garis putus-putus tersebut, China mengakui sekitar 83 ribu km2 ZEE Indonesia sebagai ZEE China. “Wilayah seluas itu setara dengan dua setengah kali lipat pulau Bali,” pungkasnya.
Broto Wardoyo di diskusi ini memaparkan sikap asertif China yang cenderung mengalami peningkatan dari awal tahun 1970-an hingga tahun 2023 yang lalu.
Dia mempertanyakan alasan China mengambil sikap asertif.
“Bila kita menggunakan peribahasa ‘tak ada asap tanpa api,’ maka yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tindakan asertif China itu asap atau api?,” tanyanya.
Broto berpendapat, sikap asertif China itu muncul ketika negara-negara lain mengklaim sesuatu yang secara tradisional mereka anggap sebagai milik mereka.
Menurut Broto, China merespons klaim negara-negara lain tersebut dengan melaksanakan pendudukan efektif (effective occupation) agar klaim kepemilikan China menjadi valid.
Dalam pandangan beliau, strategi pendudukan efektif inilah yang menjadi sumber bagi ketegangan yang timbul antara China dan negara-negara lain di kawasan.
Menurut dia, China cenderung menerapkan pendekatan dua sisi, antara lain pendekatan yang membuka ruang bagi kerja sama meski di tengah potensi terjadinya konflik.
Menurut Broto, kerja sama dengan China, yang merupakan salah satu mitra ekonomi terbesar Indonesia, patut untuk terus dipertimbangkan, namun dengan tidak mengkompromikan integritas kedaulatan.
“Indonesia harus memiliki kapasitas untuk membatasi China, untuk mengatakan tidak pada permintaan China yang tidak sejalan dengan kepentingan Indonesia,” tuturnya.
Soal klaim wilayah China terhadap ZEE Indonesia di perairan Natuna, Broto beranggapan bahwa Indonesia harus menolak untuk bernegosiasi dengan China, karena ZEE di perairan Natuna adalah milik Indonesia.
Broto juga beranggapan bahwa mengajak ASEAN untuk bersama-sama menghadapi China adalah salah satu opsi terbaik yang harus terus dipertahankan.
Sejalan dengan kedua pembicara di atas, Johanes Herlijanto juga berpandangan bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuan militernya agar menjadi lebih setara dalam berhadapan dengan China di LCS.
Mengutip pandangan seorang ahli Hubungan Internasional Klaus Radityo, Johanes juga mengemukakan bahwa Indonesia harus pula secara konsisten menyatakan keabsahan kepemilikan Indonesia atas ZEE kita di perairan Natuna berdasarkan hukum laut internasional, dalam hal ini UNCLOS.
Senada dengan Broto, Johanes juga berpandangan bahwa Indonesia perlu mendorong ASEAN agar bersatu padu dalam berhadapan dengan China.
Menurutnya, ketiga langkah di atas merupakan langkah yang mendesak dan perlu diambil karena sikap China yang cenderung makin asertif dalam kaitan dengan klaim kepemilikan LCS.
Menurutnya, sikap asertif tersebut berpotensi untuk semakin meningkat karena pemimpin yang paling berpengaruh di China, yaitu Presiden Xi Jinping, dinilai cenderung memandang isu LCS dalam kerangka kompetitif ketimbang kooperatif.
Meski demikian, Johanes berpendapat bahwa masih terdapat ruang yang terbuka bagi terciptanya kawasan LCS yang damai.
“Bagaimana pun juga, sebagaimana diperlihatkan beberapa pemerhati, pada masa lalu China pernah mengesampingkan isu kedaulatan dan mengedepankan pembangunan kawasan bersama,” tuturnya.
Ia mengingatkan negara-negara Asia Tenggara dan Indonesia untuk tetap berhati-hati karena bahkan ketika China mengutamakan kerja sama untuk pembangunan kawasan bersama, mereka tetap menganggap bahwa sebagian besar LCS adalah milik mereka.
Seminar ini juga diwarnai paparan pendapat peserta yang antara lain disampaikan asisten operasi (Asops) Koarmada RI, Laksamana Pertama TNI Heri Wibowo, S.E.
Dia menyatakan, Koarmada RI menjalankan strategi pencegahan dengan menghadirkan unsur-unsur Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk melaksanakan patroli di wilayah Laut Natuna Utara.