Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum menyinggung soal film dokumenter Ice Cold Murder Coffee And Jessica Wongso yang pernah ditayangkan penyedia layanan streaming Netflix.
Jaksa menyinggung hal itu dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus Kopi Sianida di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2024).
Jaksa Shandy Handika menyebut bahwa pengajuan PK oleh Jessica Kumala Wongso dan tim kuasa hukumnya itu terkesan memanfaatkan momentum dari penayangan film yang sempat membuat heboh publik pada tahun 2023 lalu.
Padahal, kata Shandy, film itu justru banyak mengelabui masyarakat Indonesia lantaran tidak sesuai dengan fakta daripada kasus yang pernah terjadi.
"Mereka yang merasa inferior terhadap produk luar negeri menganggap bahwa dokumenter tersebut hanya karena diproduksi oleh pihak asing memiliki kebenaran yang lebih tinggi derajatnya, daripada putusan hukum di Indonesia," ucap Shandy.
Menurut Shandy fakta-fakta dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica telah terbukti di berbagai tingkatan peradilan dari Pengadilan Negeri hingga tingkat Mahkamah Agung melalui kasasi dan dua kali proses Peninjauan Kembali.
Selain itu sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu, lanjut Shandy, juga telah menyampaikan analisanya terkait pembuktian perkara pembunuhan tersebut.
"Namun pemohon PK 3 dan kuasa hukumnya tetap berusaha memutar balikkan kenyataan, dengan menyalurkan narasi palsu yang dibungkus dengan nuansa internasional seolah-olah untuk memancing simpati dan mempengaruhi persepsi publik," pungkasnya.
Dasar Ajukan PK
Seperti diketahui sebelumnya Otto Hasibuan resmi mengajukan Peninjauan kembali (PK) kasus kopi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin pada 2016 silam.
Selain punya novum berupa flashdisk berisi rekaman kejadian. Otto juga ungkapkan majelis hakim juga keliru memutuskan perkara yang melibatkan Jessica Kumala Wongso itu, tanpa ada bukti otopsi dari jenazah Mirna.
“Selain novum tadi (Flash Disk) kami juga mengajukan alasan kekeliruan hakim. Begini ya hanya dalam kasus Jessica inilah dituduh bersalah melakukan pembunuhan dengan racun korbannya tidak diotopsi,” kata Otto kepada awak media di PN Jakarta Pusat, Rabu (9/10/2024).
Semua kasus pembunuhan di republik ini, kata Otto pasti di otopsi. Ia lalu mencontohkan kasus Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J serta kasus Vina Cirebon.
“Pertanyaan saya, kenapa hanya satu-satunya Jessica dihukum tanpa otopsi (Korban) adil tidak ini,” terangnya.
Atas hak itu dikatakan Otto dirinya meminta berkali-kali Mahkamah Agung hendaknya membuat sesuatu keputusan.
“Apakah memang otopsi itu mutlak diperlukan. Apakah boleh tanpa otopsi bisa dinyatakan dia mati karena racun dan diketahui pula lagi matinya karena sianida. Mungkin ini buat kita biasa, tapi bagi hukum bagi keadilan ini sangat penting,” tegasnya.
Untuk informasi, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara kepada terdakwa kasus kematian Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, Kamis (27/10/2016).
Jessica Wongso dianggap bersalah dan memenuhi unsur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana.
Kini Jessica telah dibebaskan secara bersyarat. Meski begitu, Jessica Kumala Wongso tak mengakui dirinya bersalah atas kematian Mirna Salihin.