TRIBUNNEWS.COM – PT Pertamina (Persero) terus bersolek menjalankan perannya mendukung tercapainya target Net Zero Emission (NZE) Pemerintah Indonesia tahun 2060.
Termasuk Pertamina melakukan strategi penting mengembangkan bahan bakar rendah karbon dan menggunakan energi baru terbarukan.
Komitmen Pertamina ini juga dalam rangka mendukung kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi dalam 4-5 tahun mendatang.
Diketahui swasembada energi merupakan salah satu dari 17 program prioritas dalam visi Asta Cita yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan dalam mendukung target swasembada energi, Pertamina terus berkomitmen menjaga ketahanan energi dengan mempertahankan dan meningkatkan bisnis eksisting, serta meningkatkan bisnis rendah karbon yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini, Pertamina tengah mengembangkan empat terobosan dalam bisnis rendah karbon.
“Terobosan ini akan memperkuat swasembada energi, sekaligus memberikan dampak dalam penurunan emisi karbon, diversifikasi portofolio bisnis yang akan membuka peluang bisnis baru di masa depan,” ujar Fadjar, Kamis (24/10/2024).
Salah satunya Pertamina berhasil mengembangkan Pertamax Green 95 dan Sustainable Aviation Fuel (SAF) bahan bakar pesawat terbang dengan campuran bahan nabati.
Lantas apa itu Pertamax Green 95?
Pertamax Green 95 adalah produk terbaru dari PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading.
Produk baru itu adalah bentuk komitmen service, layanan Pertamina dalam menyediakan produk-produk dengan kualitas tinggi bagi masyarakat karena produk ini memiliki nilai oktan RON 95 dengan emisi gas buang yang rendah.
Baca juga: Pertamina NRE Pionir Perdagangan Karbon, Dorong Carbon Neutral Event di Indonesia
Pertamax Green 95 memiliki beberapa keunggulan yakni lebih ramah lingkungan.
Juga mengurangi penggunaan fossil fuel, akselerasi yang lebih baik, telah teruji LEMIGAS, Sesuai Spesifikasi Worldwide Fuel Charter.
BBM Ramah Lingkungan
Bicara soal efisiensi, Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan hasil pembakaran timbal rendah dan karbon yang rendah akan lebih irit juga ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, kendaraan yang menggunakan BBM beroktan tinggi dapat membantu para pengendara berhemat dalam biaya servis kendaraan.
Sebaliknya kendaraan yang menggunakan BBM oktan rendah, bisa membuat mesin menjadi tidak awet, dan biasanya akan meninggalkan kerak atau timbal.
“Sudah mulai ada peralihan sedikit (konsumsi Pertalite ke Pertamax) walaupun tidak banyak, jadi ada peralihan menggunakan BBM yang jauh lebih ramah lingkungan, lebih irit, karena dengan RON lebih tinggi, maka pembakaran semakin sempurna, saya kira banyak manfaatnya dengan menggunakan BBM Pertamax ini,” ujar Mamit Setiawan, kepada Tribunnews.
Mamit menyebut penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan sangat penting saat ini, untuk meminimalisir perubahan iklim akibat polusi udara.
Hal ini pun sesuai dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4.
“Saya kira di kondisi saat ini, masyarakat sudah mulai sadar dan peduli terhadap BBM yang ramah lingkungan, di samping juga perekonomian masyarakat yang sudah semakin tumbuh,” ujarnya.
Juga dipengaruhi oleh kenaikan harga Pertalite beberapa waktu lalu, sehingga semakin mempengaruhi masyarakat yang beralih konsumsi ke Pertamax, karena disparitas harganya tidak terlalu jauh.
Perencanaan Energi Nasional
Sementara itu Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto menambahkan dampak terhadap lingkungan menjadi salah satu pertimbangan penting mendorong konsumsi masyarakat pada bahan bakar dengan nilai oktan yang lebih tinggi.
“BBM jenis Pertamax Green 95 ikut serta menjaga kelestarian bumi karena memiliki RON 95, sehingga saat proses pembakarannya CO2 yang dirilis ke atmosfer lebih rendah,” terangnya kepada Tribunnews.
Selain itu, soal konsumsi BBM yang lebih ramah lingkungan juga sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi, khususnya di sektor transportasi.
“Jika mengacu pada perencanaan energi nasional ke depan, Indonesia sudah memiliki rencana besar, yakni dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan soal transisi energi mengejar net zero emission (NZE) pada tahun 2060, kemudian pada tahun 2025 setidaknya bauran energi terbarukan dapat mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional,” terangnya.
“Dan dalam rangka upaya mendorong masyarakat pindah ke dari bahan bakar minyak yang tinggi emisi tinggi ke yang lebih rendah itu programnya harus tegas dan, jelas, dan terukur, ke depan harus ada sinergi antara Pertamina, perguruan tinggi, dan lembaga riset dalam menghasilkan produk-produk energi yang terbarukan dan siap dipakai, serta memiliki nilai ekonomi yang baik,” imbuhnya.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)