Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melakukan kajian ulang terhadap penerapan Ujian Nasional (UN).
Pengamat Pendidikan Edi Subkhan mengatakan kebijakan itu akan menghabiskan anggaran dan energi seperti periode sebelumnya.
Pelaksanaan serempak pada satu waktu, kata Edi, membutuhkan dana tidak sedikit.
Sudah banyak bukti menunjukan jika UN menyedot pendanaan besar karena persiapan dan pelaksanaan yang tidak sedikit, baik dari segi sumber daya manusia hingga kebutuhan pendukung.
Dengan anggaran pendidikan terbatas, penyelenggaraan kembali UN diprediksi akan membuat Kemendikdasmen kewalahan.
Terlebih lagi dengan janji politik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan menaikan gaji para guru.
"Pendanaan saja sudah banyak, belum lagi memenuhi janji politik soal kenaikan gaji guru dan lainnya, ini pasti akan tersedot banyak. Ini harus diperhatikan secara multidimensi," ujar Edi melalui keterangan tertulis, Selasa (5/11/2024).
Dirinya mengatakan energi yang dihabiskan pun tidak sedikit.
Banyak pihak diterjunkan untuk penyelenggaraan UN yang diselenggarakan bersama di seluruh Indonesia.
Bahkan pada satu waktu, petugas keamanan pun ikut terjun karena kondisi tertentu, seperti pencegahan kebocoran soal.
Edi menyoroti, dengan pendanaan dan energi yang besar, hasil yang ingin didapatkan dengan pelaksanaan UN tidak sepadan.
Persoalan kecurangan, kebocoran soal, rasa stres, hingga pertaruhan citra sekolah membuat pelaksanaan UN menjadi masalah baru untuk deretan masalah pendidikan belum terselesaikan.
Guru Besar Matematika ITB Prof. Iwan Pranoto juga menilai jika UN kembali dilaksanakan, maka itu akan menjadi kebijakan sangat tidak jelas.
Penerapan UN justru hanya membuang dana yang sebenarnya bisa disalurkan untuk mendorong kompetensi guru untuk lebih baik dan memperbaiki fasilitas pendidikan di berbagai daerah.
Kualitas pendidikan Indonesia tidak merata pun menjadi tantangan tidak terselesaikan sejak UN pertama kali diberlakukan pada 2005.
"UN untuk Indonesia ini tidak relevan, kita sangat luas dan berbeda, masa mau membandingkan yang di Papua, Kalimantan, dengan yang di Jakarta, ini kan tidak cocok," ujar Iwan.
Iwan menyatakan, ujian akhir sebaiknya diserahkan kepada guru masing-masing sekolah sebab mereka mengetahui proses dan perkembangan peserta didik.
Asesmen Nasional dinilai sudah cukup menjadi solusi dalam melihat standar dalam pendidikan nasional.
Dengan menggunakan sampel yang ada sudah dapat mengukur kualitas pendidikan karena melibatkan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.
"Seperti orang lakukan medical check up, ini periksa darah tidak semua darah di keluarkan tapi sampling, sama dengan pendidikan ini, tidak usah uji semua, jadi tidak masuk akal," ujar Iwan.
Penentuan seperti UN dinilai akan menimbulkan tekan terhadap peserta didik dan menyingkirkan peran guru dalam proses belajar.