News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Alami Resesi Seks? Perempuan Mulai Ogah Punya Anak, Angka Pernikahan Menurun

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis data terbaru mengenai keputusan childfree atau memilih hidup tanpa anak pada tahun 2023 

Hasil survei menemukan sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia atau sekitar 8,2 persen dari kelompok usia 15 hingga 49 tahun memilih untuk tidak memiliki anak.

Survei ini dilakukan hanya kepada kelompok perempuan yang telah menikah namun tidak memiliki anak dan tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Artinya, jumlah kasus childfree di Indonesia kemungkinan lebih besar jika perempuan yang belum menikah dan mereka yang menggunakan alat kontrasepsi turut dihitung dalam survei.

Peningkatan jumlah perempuan yang memilih childfree ini didominasi wilayah DKI Jakarta (14,3 persen), Jawa Barat (11,3 persen), dan Banten (15,3 persen).

Tren hidup tanpa anak ini menunjukkan peningkatan dalam empat tahun terakhir, meskipun sempat menurun pada awal pandemi COVID-19, yaitu antara 6,3 hingga 6,5 persen.

Alasan Perempuan Memilih Tanpa Anak

BPS mengidentifikasi sejumlah alasan di balik keputusan perempuan untuk hidup tanpa anak, di antaranya keinginan untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi misal S2 dan S3.

Faktor kesulitan ekonomi yaitu biaya hidup yang semakin tinggi juga membuat sebagian masyarakat Indonesia merasa tidak mampu untuk menanggung beban sebagai orangtua.

Selain itu, BPS menyebut bahwa gaya hidup, termasuk orientasi seksual beragam misal sesama jenis, juga menjadi alasan bagi sebagian perempuan untuk memilih childfree.

Trauma masa lalu dan ketakutan terhadap komitmen serta tanggung jawab besar dalam membesarkan anak juga menjadi pertimbangan lainnya.

Keputusan childfree ini, menurut para ahli, tidak terlepas dari fenomena "resesi seks" yang sudah terlihat di negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.

Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya usia pernikahan dan berkurangnya minat generasi muda untuk berhubungan intim.

Resesi Seks

Istilah "resesi seks" pertama kali dipopulerkan oleh Kate Julian dalam artikel di The Atlantic yang menjelaskan bahwa generasi muda Amerika Serikat saat ini berhubungan seks lebih sedikit dibandingkan generasi sebelumnya.

Fenomena ini diduga terjadi karena berbagai faktor, termasuk budaya hookup, tekanan ekonomi, kecemasan yang tinggi, perubahan psikologis, maraknya vibrator, penggunaan antidepresan yang meluas serta faktor teknologi dan media sosial yang menambah distraksi dalam hubungan antarindividu.

Televisi streaming, porno digital, dan aplikasi kencan adalah satu dari sekian banyak faktor-faktor teknologi yang mempengaruhi gaya hidup tanpa anak ini.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, pernah menyampaikan kepada Kompas.com bahwa resesi seks di Indonesia dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.

Ia menjelaskan keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak

Angka Pernikahan Menurun

Angka pernikahan di Indonesia juga mengalami penurunan signifikan sebesar 128 ribu dibandingkan tahun 2022, dengan total 1,6 juta pernikahan pada tahun lalu, menurut data BPS.

Penurunan ini tercatat terjadi di hampir semua provinsi, menandakan fenomena yang bersifat nasional.

BPS melaporkan bahwa penurunan angka pernikahan di DKI Jakarta mencapai 4.000, di Jawa Barat turun sebanyak 29 ribu, Jawa Tengah 21 ribu, dan Jawa Timur sekitar 13 ribu.

Secara keseluruhan, jumlah pernikahan di Indonesia turun 28,63 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yang merupakan level terendah dalam satu dekade.

Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, mengaitkan penurunan ini dengan meningkatnya kemandirian perempuan.

“Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk bersekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Ketergantungan perempuan juga menurun,” ungkapnya akhir pekan lalu, dilansir dari laman resmi UNAIR.

Menurut Bagong, akses pendidikan yang lebih luas bagi perempuan membuat mereka cenderung fokus pada pendidikan atau karier, sehingga tidak merasa tergesa-gesa untuk menikah.

“Perempuan dengan pendidikan dan karier yang stabil memiliki kecenderungan untuk menikah di usia yang lebih matang, atau bahkan merasa bahwa mereka tidak perlu menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” jelasnya.

Ike Herdiana, Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menambahkan bahwa meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan yang terekspos melalui media sosial turut mengikis kepercayaan generasi muda terhadap institusi pernikahan.

“Maraknya kasus perselingkuhan dan KDRT yang mudah diakses melalui media sosial telah mengikis kepercayaan Gen Z terhadap institusi pernikahan. Terakhir, munculnya gaya hidup bebas dan mandiri, salah satunya menormalisasi hubungan tanpa pernikahan, semakin meningkatkan anggapan Gen Z untuk menunda pernikahan,” ujarnya, dikutip dari GoodStats.

Perubahan nilai budaya dan pandangan generasi muda terhadap pernikahan juga menjadi faktor lain di balik penurunan ini.

Jika sebelumnya pernikahan dianggap sebagai keharusan dalam siklus kehidupan seseorang, kini generasi muda cenderung lebih fleksibel dalam memandang pernikahan dan tidak lagi menjadikannya prioritas utama.

Kesadaran yang semakin tinggi akan pentingnya kesejahteraan mental dan emosional dalam memilih pasangan hidup turut memperkuat perubahan perspektif ini di Indonesia.

Sumber: CNA/Kompas.com

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini