Ia melakukan perjalanan tersebut bersama mentornya, Hiroshi Hara.
Pada 1972, Yamamoto menghabiskan banyak waktu di sepanjang garis pantai Laut Mediterania, mengunjungi Prancis, Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Italia, Yunani, dan Turki.
Dari Eropa, Yamamoto berpindah ke benua Amerika dan Asia.
Lewat perjalanannya, Yamamoto mendapat gagasan mengenai "ambang batas" antara ruang publik dan privat adalah bersifat universal.
Dari situ, ia kembali mempertimbangkan mengenai batas-batas antara ranah publik dan sosial sebagai peluang sosial, berkomitmen pada keyakinan, semua ruang dapat memperkaya dan melayani seluruh komunitas, bukan hanya mereka yang menempati.
Dengan pemikiran itu, Yamamoto mulai merancang hunian keluarga tunggal yang menyatukan lingkungan alami dan buatan.
Baca juga: Arsitek Top Dunia Riken Yamamoto Minta Indonesia Jangan Pindah Ibukota Negara, Sebut Ini Bahayanya
Proyek pertamanya adalah Yamakawa Villa di Nagano pada 1977, yang terbuka di semua sisi dan terletak di hutan.
Proyek itu dirancang agar terasa sepenuhnya seperti teras terbuka.
Pengalaman itu secara signifikan memengaruhi karya-karyanya di masa depan, saat ia memperluas kariernya dengan menangani proyek perumahan sosial bersama Hotakubo Housing di Kumamoto pada 1991.
Dari proyek itu, Yamamoto berupaya menjembatani budaya dan generasi lewat kehidupan yang relasional.
Transparansi, bentuk, material, dan filosofi tetap menjadi elemen penting dalam karya-karyanya.
Ia menggunakan pendekatan perencanaan kota yang menunjukkan evolusi sebagai properti penting dalam pengembangan Ryokuen-toshi, Inter-Junction City di Yokohama.
Yamamoto terus mendorong masyarakat di gedung-gedung besar dengan mengadaptasi bahasa arsitekturnya ke proyek-proyek seperti Universitas Prefektur Saitama di Koshigaya (1999) dan Perpustakaan Tianjin di Tingkok (2012), yang membuktikan penguasannya terhadap skala.
Karyanya makin banyak, mulai dari rumah tinggal pribadi hingga perumahan umum, sekolah dasar hingga gedung universitas, dan lembaga hingga ruang publik.