Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penurunan setoran deviden PT Antam Tbk kepada negara mencapai Rp 1 triliun akibat dikabulkannya gugatan crazy rich Surabaya Budi Said terkait kekurangan serah emas 1.136 kilogram atau 1,1 ton emas.
Sebagai informasi gugatan perdata Budi Said melawan PT Antam itu sebelumnya dikabulkan Majelis Kasasi Mahkamah Agung pada 2022 yang membuat perusahaan pelat merah itu wajib menyerahkan 1,1 ton emas kepada Budi Said.
Selain turunnya penyetoran deviden, gugatan Budi Said juga berdampak pada citra PT Antam Tbk di masyarakat.
Hal itu diungkapkan mantan Kepala Divisi Akuntansi dan Perpajakan PT Antam Tbk, Handi Sutanto saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus rekayasa jual beli emas Antam di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang Budi Said dan eks General Manager PT Antam Tbk Abdul Hadi Avicena.
Handi menjelaskan, hasil putusan itu PT Antam pun memasukkan kekurangan penyerahan emas 1,1 ton ke dalam pembukuan perusahaan.
Baca juga: Eksi Anggraeni Ngaku Diperintah Budi Said Urus Surat Keterangan Kekurangan Emas, Ini Kata Pakar
Hal itu pihaknya lakukan untuk menjalankan standar akuntansi yang berlaku meskipun dilain sisi PT Antam secara hukum tetap berkeyakinan bahwa posisi mereka tetap kuat.
"Karena walaupun Antam masih meyakini posisinya kuat tapi sudah inkrah maka di situ secara standar akuntansi kita wajib untuk mencadangkan," kata Handi.
Hanya saja kata Handi, pembukuan itu merupakan catatan atau provisi yang jumlahnya dan waktunya belum pasti.
Namun, akibat dari gugatan itu lanjut Handi perusahaannya itu terpaksa menurunkan setoran jumlah deviden atau laba ke negara sebagai pemegang saham mayoritas mencapai Rp 1 triliun di tahun 2022.
Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi Rekayasa Transaksi Emas, Saksi Beberkan Praktik Budi Said Lewat Broker
"Akhirnya apa? artinya juga kemampuan Antam untuk membagikan deviden di tahun 2022 itu turun 1 triliun," jelasnya.
Handi mencontohkan, semestinya PT Antam harus setor laba ke negara senilai Rp 3 triliun, maka di tahun tersebut perusahaannya itu hanya bisa menyetor Rp 2 triliun atau turun Rp 1 Triliun.
Tak hanya itu dengan dikabulkannya gugatan Budi Said tersebut juga berdampak pada citra perusahaan di muka publik.
"Kedua, dampak secara reputasi karena itu mempengaruhi rasio-rasio laporan keuangan dan juga persepsi publik," ucapnya.
Budi Said Didakwa Rugikan Negara Rp 1,1 Triliun
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung sebelumnya mendakwa Crazy Rich Surabaya, Budi Said atas dugaan korupsi pembelian emas PT Antam sebanyak 7 ton lebih.
Dakwaan itu dibacakan jaksa penuntut umum dalam persidangan perdana Budi Said di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Pembelian emas dalam jumlah besar dilakukan Budi Said ke Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam pada Maret 2018 sampai dengan Juni 2022.
Menurut jaksa, pembelian emas dilakukan Budi Said dengan cara berkongkalikong dengan Eksi Anggraeni selaku broker dan beberapa oknum pegawai PT Antam yakni Kepala BELM Surabaya 01 Antam bernama Endang Kumoro, General Trading Manufacturing and Service Senior Officer bernama Ahmad Purwanto, dan tenaga administrasi BELM Surabaya 01 Antam bernama Misdianto.
Dari kongkalikong itu, kemudian disepakati pembelian di bawah harga resmi dan tidak sesuai prosedur Antam.
Total ada dua kali pembelian emas yang dilakukan Budi Said.
Pertama, pembelian emas sebanyak 100 kilogram ke BELM Surabaya 01.
Namun, saat itu BELM Surabaya tidak memiliki stok tersebut, sehingga meminta bantuan stok dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulogadung PT Antam.
Harga yang dibayarkan Budi Said untuk 100 kilogram emas Rp 25.251.979.000 (dua puluh lima miliar lebih).
Padahal, harga tersebut seharusnya berlaku untuk 41,865 kilogram emas.
"Sehingga terdakwa BUDI SAID telah mendapatkan selisih lebih emas Antam seberat 58,135 kilogram yang tidak ada pembayarannya oleh terdakwa," kata jaksa.
Kemudian pembelian kedua, Budi Said membeli 7,071 ton emas kepada BELM Surabaya 01 Antam.
Saat itu dia membayar Rp 3.593.672.055.000 (tiga triliun lebih) untuk 7.071 kilogram atau 7 ton lebih emas Antam.
Namun dia baru menerima 5.935 kilogram.
Kekurangan emas yang diterimanya itu, sebanyak 1.136 kilogram atau 1,13 ton kemudian diprotes Budi Said.
"Terdakwa Budi Said secara sepihak menyatakan terdapat kekurangan serah emas oleh PT Antam dengan cara memperhitungkan keseluruhan pembayaran emas yang telah dilakukan oleh terdakwa Budi Said sebesar Rp 3.593.672.055.000 untuk 7.071 kilogram namun yang diterima oleh terdakwa Budi Said baru seberat 5.935 kilogram, sehingga terdapat kekurangan serah emas kepada Terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram," ujar jaksa.
Rupanya dalam pembelian 7 ton lebih emas Antam tersebut, ada perbedaan persepsi harga antara Budi Said dengan pihak Antam.
Dari pihak Budi Said saat itu mengaku telah menyepakati dengan BELM Surabaya harga Rp 505.000.000 (lima ratus juta lebih) untuk per kilogram emas. Harga tersebut ternyata lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan Antam.
"Bahwa sesuai data resmi PT Antam Tbk dalam harga harian emas PT Antam sepanjang tahun 2018 tidak ada harga emas sebesar Rp 505.000.000 per kg sebagaimana diakul terdakwa sebagai kesepakatan harga transaksi," ujar jaksa.
Adapun berdasarkan penghitungan harga standar Antam, uang Rp 3,5 triliun yang dibayarkan Budi Said semestinya berlaku untuk 5,9 ton lebih emas.
"Sehingga tidak terdapat kekurangan serah Emas PT Antam kepada terdakwa Budi Said dengan total 1.136 kilogram," katanya.
Akibat perbuatannya ini, negara melalui PT Antam disebut-sebut merugi hingga Rp 1,1 triliun.
Dari pembelian pertama, perbuatan Budi Said bersama pihak broker dan BELM Surabaya disebut merugikan negara hingga Rp 92.257.257.820 (sembilan puluh dua miliar lebih).
"Kerugian keuangan negara sebesar kekurangan fisik emas Antam di BELM Surabaya 01 sebanyak 152,80 kilogram atau senilai Rp 92.257.257.820 atau setidak-tidaknya dalam jumlah tersebut," kata jaksa penuntut umum.
Kemudian dari pembelian kedua, negara disebut-sebut telah merugi hingga Rp 1.073.786.839.584 (satu triliun lebih).
"Kerugian keuangan negara sebesar 1.136 kilogram emas atau setara dengan Rp 1.073.786.839.584," ujar jaksa.
Dengan demikian, Budi Said dalam perkara ini dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.