TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cita-cita gerakan reformasi yang dimotori oleh para aktivis angkatan 1998 kini mendapat tantangan besar.
Kelik Ismunanto, Koordinator Relawan Kawan 98 dan Jaga Suara, menilai, kehidupan demokrasi menghadapi ancaman oleh kekuatan oligarki yang ingin terus mempertahankan kekuasaannya.
"Mereka terdiri dari kelompok politisi sipil yang berkolaborasi dengan kekuatan lain termasuk birokrasi dan modal," ujarnya di Jakarta, Kamis (26/11/2024).
Ia menambahkan, gejala ini sudah sebelum sudah berlangsungnya dalam Pemilihan legislatif dan Pemilihan Presiden Februari 2024 lalu.
"Setelah pemerintahan baru terbentuk rupanya gerakan yang mengancam demokrasi itu melangkah lebih jauh," katanya.
Di beberapa daerah, disebut muncul upaya-upaya menghalangi warga agar tak bisa menggunakan haknya untuk memilih para pemimpin daerah yang mereka sukai.
Kelik mengatakan, perlu diingat bahwa Pilkada 2024 yang akan berlangsung Rabu, (27/11/2024) di seluruh Indonesia merupakan salah satu buah dari gerakan masyarakat sipil yang dimotori mahasiswa, professional, serta pegiat pegiat lembaga non pemerintah.
"Pemimpin daerah adalah ujung tombak bagi terwujudnya kesejahteraan warga karena pemimpin nasional tak mungkin memahami dinamika dan persoalan yang terjadi di daerah."
Laporan praktik ketidakjujuran disertai intimidasi dan tindakan tindakan tidak fair banyak bermunculan di berbagai daerah.
“Hal itu kami yakini kelanjutan dari tidak tuntasnya penyelesaian konflik dan kecurangan yang terjadi selama Pemilu 2024,” ujarnya.
Menurut dia, Pilkada sebagai anak kandung gerakan reformasi 1998 harus dijaga sekalipun elite politik terus bermanuver untuk mengamankan kepentingan mereka.
"Bila warga tidak sadar dan hanya mengikuti kemauan elite politik kehidupan demokratis akan sirna."
“Kehidupan Bangsa ini ke depan akan kembali suasana 30 tahun lalu di mana kebebasan bersuara bungkam, kesejahteraan ekonomi terkonnsentrasi sepenuhnya pada kelompok kelompok tertentu,” tegas Kelik
Untuk itulah, sambungnya, warga sepenuhnya harus membebaskan diri dari arahan pihak pihak tertentu dalam memberikan suaranya.
Jadi Penyangga Pertarungan Politik di 2029
Sebelumnya, Peneliti senior Centra Initiative, Al Araf menyoroti langkah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang terlibat aktif dalam kampanye pemenangan pasangan calon (Paslon) pada Pilkada Serentak 2024.
Menurut Al Araf, tidak sepatutnya seorang Presiden yang sudah purna tugas masih terlibat aktif mengendorse calon tertentu di Pilkada.
"Kenapa seorang mantan presiden sampai habis-habisan turun untuk memenangkan Jawa Tengah dan Jakarta? Itu kan sebenarnya memalukan. Secara etik, itu memalukan," kata Al Araf dalam diskusi publik bertajuk 'Dinamika Politik dan Keamanan Jelang Pilkada: Bayang-Bayang Jokowi di Rezim Prabowo' di Jakarta, Senin (25/11/2024).
Menurut dia, seorang mantan presiden itu sebaiknya cukup diam dan melihat pertarungan Pilkada serentak 2024. Hal itu menunjukkan, bagaimana mantan Presiden menunjukkan sikap kenegarawanannya.
Dengan secara terang-terangan menunjukkan sikap sekaligus dukungannya terhadap paslon tertentu, Al Araf melihat seperti ada maksud dan tujuan di baliknya.
"Artinya kan ada kegentingan, ada kedaruratan atau pertanyaannya ada kepentingan yang dibaca dalam lima tahun ke depan oleh dia, sehingga pilkada ini harus menang," ujarnya.
"Dalam konteks ini saya ingin bilang bahwa pilkada ini bukan hanya dilihat dalam konteks pilkada saat ini, tapi pilkada ini akan menjadi penyangga dalam pertarungan politik di 2029 nanti. Itu yang kemudian membuat situasinya memanas dan seorang mantan presiden pun habis-habisan untuk turun," sambung dia.