TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Helena Lim menceritakan kisah masa kecil dan keluarganya yang berasal dari kalangan bawah, dalam sidang lanjutan agenda penyampaian nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/12/2024).
Helena bercerita dirinya lahir dari keluarga yang kurang mampu, dan menjadi yatim ketika berusia 12 tahun.
Ketika ayahnya meninggal, ibundanya harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk bisa makan dan sekolah.
Bahkan Helena Lim mengaku sejak kecil sudah harus ikut mencari uang dengan membantu ibundanya menjahit sepatu, berjualan nasi hingga keripik di sekolah.
“Saya adalah anak yatim yang dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu. Sejak usia saya 12 tahun sudah ditinggal mati ayah saya, dan mama pun harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk diberi makan dan sekolah,” kata Helena.
“Di usia saya yang masih belia saya sudah mencari uang dengan membantu mama menjahit sepatu, berjualan nasi, sampai berjualan keripik di sekolah,” lanjut dia.
Saat dirinya menginjak usia 17 tahun, Helena mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar.
Seiring berjalannya waktu, ia mengawali bisnisnya dalam dunia valas hingga menjadi manager PT Quantum Skyline Exchange.
Setelah usahanya naik dan dipercaya banyak orang, namanya mulai dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk dan seorang figur publik.
Tapi kata Helena, label itu punya harga yang mahal. Salah satu di antaranya, label itu membuatnya menjadi target dari kasus dugaan korupsi PT Timah.
Ia menyatakan kasusnya ini adalah cermin dari mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah popularitas.
“Saya ingin sedikit bercerita tentang seberapa mahalnya harga sebuah popularitas disebut sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk,” kata Helena.
Dirinya merasa dizalimi karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadikannya sebagai talenan, di mana hasil jerih payah kerjanya selama 30 tahun kini terancam dirampas negara.
“Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU,” katanya.
Helena mengaku heran jaksa menyeretnya ke dalam pusaran kasus dugaan korupsi tata niaga timah ini hanya karena usahanya dianggap jadi tempat penampungan dana. Padahal ada banyak money changer lain yang juga bertransaksi dengan terdakwa Harvey Moeis.
“Ada beberapa money changer lain yang juga dipakai oleh para terdakwa, tetapi tetap yang dijadikan terdakwa hanya saya. Padahal pola transaksi seluruh money changer sama persis,” kata dia.
Terhadap kasus ini, Helena menyatakan seandainya sejak awal tahu bahwa sumber daya para smelter berasal dari hasil kejahatan, dirinya pasti menolak transaksi tersebut dan tak akan mau memproses penukaran valuta asing dari para terdakwa.
Dirinya juga menilai penentuan uang pengganti sebesar Rp210 miliar tidak proporsional. Ia berharap Majelis Hakim PN Tipikor untuk mempertimbangkan vonis yang dijatuhi berdasarkan hati nurani.
“Mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar tersebut,” ucap Helena.
Baca juga: Jadi Saksi Korupsi Timah, Helena Lim Mengaku Dirinya Sedang di Amerika Saat Rumah Digeledah Kejagung
Adapun dalam kasus ini Helena Lim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.
Jaksa meyakini Helena Lim telah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.