Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi turut mengomentari kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, hingga rencana pengampunan koruptor.
Menurut Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Jakarta, yayasan yang menaungi Universitas 17 Agustus 1945 (UTA '45) Jakarta, Rudyono Darsono, yakin Presiden Prabowo Subianto akan mengambil kebijakan terbaik bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
"Sehubungan dengan kenaikan PPN 12 persen dan pengampunan koruptor, saya sangat yakin Presiden Prabowo tidak akan mengkhianati sumpahnya sebagai prajurit Sapta Marga," kata Rudyono dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (29/12/2024).
"Di mana rakyat dan kesetiaan pada Pancasila menjadi yang utama," imbuhnya.
Rudyono mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal itu, kata dia harus menjadi agenda utama pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Pembersihan terhadap koruptor memang harus menjadi agenda utama pemerintahan Pak Prabowo, karena masalah utama bukan masalah besarnya persentase perpajakan maupun kuantitas dan kualitasnya sangat rendah, tapi karena masalah disiplin yang dipicu dari rusaknya sistem penegakan hukum dan peraturan yang diperdagangkan," ujar Rudyono.
Menurut Rudyono, kenaikan PPN 12 merupakan kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang didukung penuh PDI Perjuangan (PDIP).
Kebijakan itu, kini dinilai merugikan pemerintahan Prabowo-Gibran dan membuat pemerintah saat ini serba salah.
"Sebuah simalakama buat pemerintahan saat ini, dijalankan akan memberatkan dan memicu banyaknya protes masyarakat, tidak dijalankan juga susah, itu sudah menjadi produk undang-undang," ucapnya.
"Yang kalau dibatalkan mungkin akan menimbulkan masalah lain atau jika ditunda hanya menyimpan masalah ke depannya, bukan menyelesaikan," lanjutnya.
Lebih lanjut, Rudyono mendukung ide pengampunan koruptor. Namun mekanismenya harus benar-benar diatur dengan baik, untuk menghindari penyelewengan.
"Sedangkan pengampunan terhadap koruptor juga sesuatu ide yang sangat baik, malah lebih revolusioner dibanding negara-negara lainnya seperti China, Hongkong atau Singapura. Hanya skema kerjanya yang perlu dibuat dengan sangat baik dan memperhitungkan segala aspek sosial lainnya," ucap dia.