TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kabid Perencanaan dan Pengolahan PT Timah Tbk Nono Budi Priyono mengatakan program sisa hasil produksi (SHP) sudah ada sejak 2017.
Program tersebut dikatakan Budi diambil dari penambang tak berizin di wilayah Izin Usaha Jasa Pertambangan PT Timah di Bangka Belitung.
Adapun hal itu disampaikan Budi saat dihadirkan menjadi saksi pada sidang lanjutan korupsi timah terdakwa pemilik PT Tinindo Inter Nusa atau PT TIN, Hendry Lie di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (24/2/2025).
"Untuk program SHP ini ada di tahun berapa dan apa alasannya," tanya jaksa di persidangan.
Budi menerangkan program tersebut ada di tahun 2017, karena PT Timah masih kekurangan bijih timah.
Baca juga: Kuasa Hukum Helena Lim Soroti Penyitaan Aset Kliennya di Kasus Timah: Padahal Sudah Ikut Tax Amnesty
"Kemudian melihat fenomena ibu-ibu (Masyarakat) menambang bijih timahnya dijual keluar dari PT Timah. Sehingga kita juga mengajukan kewajiban daripada pemerintah untuk meningkatkan recovery. Sehingga kita laksanakan program SHP," jelasnya.
Jaksa lalu menayangkan ibu-ibu atau masyarakat itu berizin atau tidak.
Kemudian dijawab Budi bahwa masyarakat tersebut menambang tanpa izin.
Baca juga: Sengkarut Tata Niaga Timah Akibat Ketidakjelasan Regulasi Korbankan Ekonomi Rakyat Babel
Jaksa selanjutnya menayangkan syarat masyarakat bisa menambang di wilayah Izin Usaha Jasa Pertambangan PT Timah di Bangka Belitung.
Budi menjelaskan syarat untuk masyarakat bisa menambang di wilayah Izin Usaha Jasa Pertambangan PT Timah harus berbadan hukum, punya penambang, dan ada izinnya dari PT Timah.
"Apa dasar mengeluarkan penerimaan bijih timah dari para penambang masyarakat," tanya jaksa.
"Bahwa itu bijih timah itu adalah aset kita. Sehingga kita wajib istilahnya mengamankan aset kita. Makanya kita amankan asetnya dan masyarakat dikasih kompensasi," jawab Budi.
Jaksa lanjut menanyakan berapa kompensasi yang harus dibayarkan PT Timah.
"Itu tergantung ada hitungannya. Tapi tidak boleh lebih daripada instruksi Dirops. Kalau misalkan kadar tinggi itu waktu itu saya lupa cuman ada seingat saya itu Rp 150 juta. Kesimpulannya adalah diatur dengan tingkat kualitas," terangnya.
Ia pun mengungkap pihak yang menentukan angka kompensasi.