TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia memberikan sejumlah catatannya terkait proses legislasi dalam revisi Undang-Undang (UU) TNI hingga dinamika setelah UU tersebut disahkan.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez memandang proses revisi UU TNI belum memenuhi standar baku yang telah ditentukan dalam tiga aturan yakni UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan peraturan Tata Tertib DPR.
Baca juga: Puluhan Massa Aksi Terluka saat Demo Tolak UU TNI di Malang: Ada yang Kepalanya Bocor, Gigi Retak
Terkait hal itu, ia mencatat publik tidak mendapatkan informasi memadai baik soal draf naskah akademik yang memuat pihak pengusul, urgensi revisi, dan filosofi direvisinya UU tersebut dalam proses pembahasan di tingkat 1.

Selain itu, banyaknya versi Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang beredar di masyarakat juga membuat publik tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Baca juga: Puan Sempat Bahas Pengesahan Revisi UU TNI Saat Bertemu Jokowi dan Surya Paloh di Acara NasDem
Arya juga mencatat publik juga tidak mengetahui dengan jelas bagaimana hasil dari pembicaraan tingkat 1 khususnya soal posisi partai terkait revisi UU tersebut, pendapat mini fraksi, dan pendapat keseluruhan menyangkut kebijakan fraksi soal revisi UU TNI.
Ia juga memandang masuknya RUU TNI menjadi RUU Prolegnas melalui mekanisme kumulatif terbuka juga tidak memenuhi indikator berdasarkan tingkat kebutuhan yang telah ditentukan.
Hal itu disampaikannya saat Media Briefing CSIS bertajuk Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI: Aspek Legislasi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan di Auditorium CSIS Tanah Abang Jakarta Pusat pada Senin (24/3/2025).
"Kalau kita lihat prosedur dan prosesnya itu memang bisa dikatakan dia belum memenuhi standar kelayakan atau standar yang baku, yang rigid soal proses pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Arya.
Ia juga menjelaskan pentingnya DPR mematuhi standar dalam proses pembentukan peraturan undang-undang.
Pertama, kata Arya, adalah supaya masyarakat dapat memantau proses pembentukan undang-undang mengingat publik punya hak untuk mengikuti proses dan memberikan masukan.
"Yang kedua, kalau tidak ada ketaatan pada tadi, tentu DPR dan bersama pemerintah bisa jadi akan 'ugal-ugalan' dalam membentuk peraturan undang-undangan'," ungkap dia.
Baca juga: Aksi Tolak UU TNI di Malang Ricuh, Aparat Lakukan Kekerasan Fisik hingga Verbal ke Massa
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal menyoroti cepatnya proses legislasi dari revisi Undang-Undang TNI.
Menurut dia hal tersebut karena adanya dalil kegentingan memaksa atau kondisi darurat yang justru dijadikan dalil dalam pemerintahan normal.
Dalil tersebut, menurut Nicky, bahkan menjadi standar baru dalam proses legislasi.