Revisi UU TNI

Peneliti CSIS Nilai Pemerintahan Saat Ini Tampak Tidak Percaya pada Supremasi Sipil

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

POLEMIK RUU TNI - Dari kiri ke Kanan Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal, dan Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Pieter Pandie saat Media Briefing CSIS bertajuk Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI: Aspek Legislasi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan di Auditorium CSIS Tanah Abang Jakarta Pusat pada Senin (24/3/2025). Mereka menyampaikan pandangannya masing-masing terkait RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU.
POLEMIK RUU TNI - Dari kiri ke Kanan Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal, dan Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Pieter Pandie saat Media Briefing CSIS bertajuk Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI: Aspek Legislasi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan di Auditorium CSIS Tanah Abang Jakarta Pusat pada Senin (24/3/2025). Mereka menyampaikan pandangannya masing-masing terkait RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU.

Hal tersebut, ucapnya, terjadi di masa Orde Baru.

"Sedangkan apa yang terjadi di revisi undang-undang TNI saat ini adalah bukan militerisme, melainkan militerisasi. Militerisasi adalah proses atau tindakan memperbesar peran militer sehingga ada peningkatan kendali militer di suatu dimensi, area, atau institusi, sisi tertentu. Itu yang terjadi hari ini," kata Nicky.

Menurut dia pintu masuk militerisasi cukup banyak dalam revisi UU TNI. 

Ia mencontohkan, pasal mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam UU TNI baru terkait tugas TNI untuk membantu pemerintahan daerah. 

Nicky mencatat, dalam penjelasan pasal tersebut termuat TNI bisa membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan di dalam situasi atau kondisi yang membutuhkan sarana, alat, atau kemampuan TNI. 

"Akan tetapi, kenyataannya, apabila kita lihat, perhatikan sosial media dalam beberapa hari yang lalu, kita bisa melihat ada perjanjian kerjasama TNI dengan Pemprov Jawa Barat, itu kita bisa melihat bahwa TNI itu bisa membantu mengelola yang namanya tata kelola sampah, penataan kawasan kumuh, listrik," ucap dia.

"Dan apabila kita juga lihat pemberitaan yang sama, Pemprov Palembang juga melakukan hal yang sama. Artinya militerisasi itu sudah terjadi di tingkat pemerintahan daerah. Dalam hal lain kita bisa melihat bahwa kendali militer itu akan semakin memuat di ruang sipil. Ini yang menjauh dari spirit reformasi TNI," ujarnya.

Di sisi lain, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez memandang proses merit sistem dalam birokrasi sipil sudah terjadi. 

Baca juga: DPR: UU TNI Baru Bisa Disosialisasikan Setelah Diteken oleh Presiden

Hal itu, ungkapnya, terlihat misalnya dari proses penentuan pejabat berdasarkan keahlian, kompetensi, dan kelayakan.

"Dan sebenarnya para birokrat kita itu menempuh jalur yang panjang untuk bisa mengisi jabatan yang dianggap strategis atau jabatan yang dianggap mereka punya kompetensi untuk mengisi itu," kata Arya.

"Prosesnya bisa bermasalah nanti dalam peraturan teknis baik pada 14 K/L yang bisa diisi perwira aktif maupun kementerian lain yang dimana perwiranya harus mundur. Kalau kita mengikuti proses yang seperti itu reformasi birokrasi kita mungkin akan jalan di tempat atau mundur ke belakang," ucap dia.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini