Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masihkah Anda mengingat kasus Ghozali Everyday yang mendadak viral setelah menjual foto selfie-nya dalam bentuk NFT.
Aksisnya tersebut memicu, ramai orang berbondong-bondong menciptakan NFT pribadinya untuk kegiatan komersial.
Baca juga: Jadi Kontroversi, Mayoritas NFT di Opensea Didominasi Karya Plagiat
Meningkatnya tren dari non-fungible token atau NFT membuat produksi produk turunan kripto satu ini makin melonjak. Namun sayangnya dibalik terciptanya aset tersebut, ternyata NFT menjadi penyumbang terbesar dari gas CO2 serta emisi gas rumah kaca.
Melansir dari One Green Planet, Sistem dari NFT yang menggunakan perangkat canggih blockchain serta penggunaan komputer khusus untuk menyelesaikan algoritma kompleks ternyata menguras energi listrik lebih banyak dari biasanya.
Baca juga: Karafuru Asal Indonesia Jadi NFT Paling Laris di Pasaran Opensea
Kehadiran NFT tak bisa lepas dari proses blockchain, Tercatat menurut Digiconomist, mata uang digital Ethe lah yang paling banyak menyerap energi listrik. Bahkan sekitar 34 terawatt-hours (TWh) mampu diserap Ethereum dalam kurun waktu setahun.
Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, eksploitasi yang dilakukan secara terus-menerus tentu akan mengakibatkan meningkatnya produksi emisi gas yang tentunya berbahaya bagi lingkungan.
Akibat ancaman yang ditimbulkan dari proses mining NFT, pasar online untuk seniman digital ArtStation terpaksa harus membatalkan rencananya untuk membangun platform NFT.
Sejauh ini belum ada regulasi yang memantau transaksi danperedaran NFT. Meski menghasilkan potensi besar, namun perlu melakukan pembatas produksi pada kegiatan penambangan pada NFT atau mata uang digital lainnya demi menjaga lingkungan yang baik di masa depan.